Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Ngeri-ngeri Sedap Naik Pesawat Kecil Ketika Menembus Awan Tebal

16 Januari 2021   13:18 Diperbarui: 16 Januari 2021   16:59 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musibah yang menimpa pesawat Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak, Sabtu (10/1/2021) telah menyita perhatian publik. Berita di media massa didominasi oleh peristiwa tragis itu, sehingga berita perkembangan pandemi Covid-19 agak terpinggirkan.

Hal itu wajar saja, mengingat kecelakaan pesawat relatif jarang terjadi. Padahal, tidak usah membicarakan di seluruh dunia, di Indonesia sendiri, bayangkan betapa banyaknya pesawat terbang yang mengudara setiap harinya. Makanya, secara statistik, moda transportasi pesawat terbang adalah yang paling aman. 

Masalahnya, meskipun yang mengalami kecelakaan fatal seperti Sriwijaya Air tersebut hanya nol koma sekian persen, tapi ini menjadi bencana yang tragis karena semua penumpang dan kru pesawat bisa dipastikan meninggal dunia, kecuali bila ada keajaiban.

Namun demikian, sebetulnya ada kecelakaan pesawat di negara kita yang relatif kurang diliput jurnalis, contohnya yang beberapa kali menimpa pesawat kecil yang beroperasi antar kota di provinsi Papua dan Papua Barat. Bukannya berita ini tidak muncul di media massa, tapi biasanya masuk kategori berita kecil.

Karena pesawatnya kecil, tentu juga kapasitasnya kecil, daya muatnya hanya belasan penumpang saja. Tapi, jika terjadi kecelakaan dan membawa korban nyawa, baik dalam jumlah banyak maupun "hanya" beberapa orang, tetap sama-sama memprihatinkan. 

Saya punya pengalaman naik pesawat kecil selama 2 hari berturut-turut, kalau tidak salah ingat terjadi pada tahun 2011. Ketika itu dalam rangka tugas kantor, pihak manajemen perusahaan sengaja menyewa pesawat kecil untuk rombongan berjumlah 10 orang. 

Awalnya, dari Jakarta kami naik pesawat biasa ke Medan. Kemudian baru "petualangan" kami mulai dengan rute Medan-Lhok Seumawe, Lhok Seumawe-Sabang, Sabang-Banda Aceh, Banda Aceh-Meulaboh, Meulaboh-Tapaktuan, Tapaktuan-Kutacane, dan Kutacane-Medan. Selanjutnya kembali ke Jakarta naik pesawat biasa.

Kecuali di Banda Aceh yang kami menginap satu malam, di kota-kota lain kami hanya singgah di kantor cabang sebuah BUMN tempat kami bekerja selama sekitar 2 jam saja. 

Ada yang menarik, saat check-in, para penumpang juga diminta menimbang badan. Ini berkaitan dengan daya tampung pesawat. Misalnya semua kursi terisi penuh, tapi semua penumpang bertubuh gemuk, mungkin akan ada yang dikorbankan untuk menunda keberangkatannya.

O ya, jangan membayangkan bandara di kota-kota kecil seperti yang kami kunjungi mirip bandara di kota besar. Kondisinya hanya "ala kadarnya", yang penting ada landasan untuk pesawat dan bangunan terminal yang kecil dan sepi. Soalnya, frekuensi penerbangan ke dan dari kota kecil itu juga jarang.

Kebetulan waktu itu saya menggunakan pesawat dari maskapai Susy Air, milik mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Pilotnya orang asing dan masih muda. Tidak ada pramugari yang melayani penumpang. 

Apa saja yang dilakukan pilot terlihat sepenuhnya oleh penumpang, karena memang tidak ada sekat yang membatasi. Apa yang terlihat pada layar monitor di depan pilot, juga terlihat oleh penumpang.

Jika di layar semua area terlihat berwarna hijau, pilot akan sedikit santai, bahkan bisa sambil membaca koran. Tapi kalau ada spot berwarna kuning atau merah, pilot akan mencari area hijau yang lebih aman untuk dilewati.

Pernah juga karena di layar monitor terlihat merah semua, artinya pesawat bersiap-siap memasuki area yang penuh awan tebal, pilot terlihat waspada. Ngeri-ngeri sedap rasanya ketika pesawat kecil itu menghadang awan tebal dengan goncangan yang relatif lama.

Tapi, begitu memasuki zona hijau lagi, terasa lega. Bahkan, karena pesawat terbang pada level ketinggian yang tidak setinggi pesawat besar, keindahan pemandangan di bawahnya terlihat jelas. 

Pada dasarnya, naik pesawat kecil berbaling-baling tersebut terasa asyik. Tentu bila dinikmati pada cuaca yang cerah. Cuma, kembali kepada persoalan yang disinggung di awal tulisan ini, yakni penerbangan antar kota kecil di Papua, mungkin ini terkait dengan kondisi alamnya yang lebih"ganas", landasan di bandara yang relatif sempit, dan fasilitas komunikasi yang mungkin belum yang tercanggih.

Dengan kondisi negara kita yang terdiri dari banyak pulau, ketergantungan terhadap  moda transportasi pesawat, sangat tinggi, termasuk pesawat kecil. Tinggal kita berharap agar semua pihak yang terkait dengan keamanan dan keselamatan penerbangan mampu memperbaiki diri, sehingga kecelekaan fatal tidak terjadi lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun