Pencurian kendaraan bermotor (curanmor) sejak dulu sudah menjadi hal yang ditakutkan oleh mereka yang mengendarai motor pada jam-jam tertentu atau bila melewati kawasan yang terkenal rawan.Â
Jadi, kalau akhir-akhir ini, curanmor semakin menjadi-jadi, belum tentu karena lagi terjadinya pandemi Covid-19. Soalnya, setelah ditangkap pihak yang berwajib, para pelaku curanmor kebanyakan adalah pemain lama, yang sudah bolak balik masuk penjara. Tanpa ada pandemi pun, mereka diduga punya kecenderungan untuk mengulangi perbuatan kriminal tersebut.
Artinya, esensi memenjarakan, atau bahasa halusnya dibina di Lembaga Pemasyarakatan (LP), sejauh ini belum memperlihatkan hasil yang signifikan. Justru, di LP ilmu mencuri mereka menjadi lebih meningkat karena menjadi forum berbagi pengalaman dengan kelompok penjahat lain.
Di lain pihak, para alumni LP tersebut, sulit untuk mencari pekerjaan yang halal, termasuk sekiranya mereka ingin berwirausaha. Ada dua kemungkinan yang jadi penyebab, yakni masyarakat terlanjur memberikan stigma negatif pada mantan narapidana itu dan si mantan itu sendiri yang malas berusaha, sudah keenakan dapat uang secara instan dengan melakukan tindak kejahatan.
Tapi, perlu diteliti lebih jauh, bila ada data bahwa sejak pandemi bermunculan para pemain baru yang kehidupannya porak poranda, misalnya gara-gara terkena PHK, maka bolehlah disebutkan memang pandemi membawa dampak pada peningkatan curanmor.
Tidak hanya di kota besar, di pelosok pun dari dulu telah terjadi curanmor. Celakanya, si pencuri terlalu gampang mengayunkan senjata tajam kepada korbannya. Sehingga, bagi korban, ibarat kata pepatah: jatuh tertimpa tangga. Motor lepas, anggota tubuh juga menderita luka berat. Bahkan, ada yang berkorban nyawa.
Jelas, cara-cara kekerasan seperti di atas lebih mengerikan. Namun, cara yang lebih lunak, dengan menunggu si pemilik motor lengah saat memarkir kendaraan, juga tak kalah menyakitkan.
Anak saya saat kuliah di UI, pernah kehilangan motor. Ceritanya, ia baru selesai kuliah dan pulang ke kosannya, hanya sekadar untuk ganti baju, karena setelah itu ia akan main futsal. Motor diparkir di depan kosan, eh, pas mau berangkat lagi, motor sudah raib.
Maraknya curanmor memerlukan penelusuran yang lebih komprehensif untuk mengetahui akar masalahnya, sekaligus untuk bisa mencari solusi yang diyakini mampu mengatasinya.
Pendekatan hukum semata belum mencukupi, dan perlu diimbangi dengan pendekatan ekonomi, sosial, dan psikologi. Buktinya, hukuman di LP ternyata tidak menakutkan bagi para pelaku curanmor.
Apakah mental ingin dapat uang secara instan sudah demikian merasuki banyak anak muda? Akibatnya, melakukan kejahatan pun dipandang sebagai jalan pintas yang mampu mendatangkan hasil cepat.Â
Motor yang dicuri sangat gampang dijual, meskipun tanpa surat-surat yang lengkap. Bisa pula motor tersebut dipreteli dan bagian-bagian dari motor ternyata masih laku dijual karena ada penadahnya. Ironisnya, uang tersebut nantinya digunakan untuk membeli minuman keras atau narkoba.
Atau, si pelaku melakukan tindak kriminal karena desakan ekonomi. Hal ini perlu ditelusuri untuk mengetahui apakah sebelumnya mereka telah berupaya mencari penghasilan yang halal.
Cukup banyak tulisan berupa tip bagaimana caranya agar tidak menjadi korban curanmor. Semuanya tentu bermanfaat, yang pada intinya masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan.
Namun, ada hal lain yang perlu dilakukan pemerintah dan juga masyarakat. Pertama, hukuman terhadap pelaku curanmor sudah saatnya diperberat agar menimbulkan efek jera.Â
Kedua, setelah menjalani hukuman, ciptakan iklim yang kondusif agar si pelaku tidak tergoda mengulangi perbuatannya. Untuk itu, masyarakat sebaiknya tidak lagi memberikan stigma negatif dan mencoba memberikan kepercayaan, umpamanya dengan menerima mereka bekerja.
Sekiranya mantan naradapidana tersebut berwirausaha, perlu mendapat pembinaan dari instansi yang membidangi usaha mikro, dan masyarakat tidak perlu ragu membeli produk atau jasa yang ditawarkan mereka.
Ketiga, tentu peran para pemuka agama tak kalah pentingnya, dengan melakukan pembinaan spritual. Tujuannya, agar mereka betul-betul bertobat, bukan apa yang disebut orang Minang sebagai "tobat sambalado" atau tobat sementara yang cepat kambuh lagi, seperti orang yang tobat makan sambal, tapi mau lagi.Â
Agar efektif, semuanya harus bergerak secara simultan, yakni pemerintah, masyarakat, dan pemuka agama. Sudah saatnya masyarakat tidak lagi was-was, bebas dari ketakutan menjadi sasaran pelaku curanmor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H