Seperti yang sudah banyak diberitakan media massa, tiga bank syariah milik tiga bank pemerintah telah melakukan merger atau penggabungan. Ketiga bank dimaksud adalah BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri (BSM) dan BNI Syariah.
Proses penggabungannya dengan menjadikan BRI Syariah sebagai entitas yang dipertahankan karena sudah berstatus sebagai perusahan terbuka, artinya sahamnya sebagian dimiliki masyarakat karena diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Jadi, BSM dan BNI Syariah dilebur ke dalam BRI Syariah. Lalu, BRI Syariah setelah dimasuki dua bank yang bergabung ini berganti nama menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).
Nah, ada berita kurang sedap baru-baru ini, di mana Pengurus Puat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan yang bisa ditafsirkan akan memindahkan dananya yang selama ini ditempatkan di BRI Syariah. Jelas, kalau ini terjadi, menjadi hal yang merugikan justru di awal BRI Syariah berganti nama jadi BSI karena merupakan gabungan tiga bank.
Muhammadiyah itu asetnya besar, pasti dana yang dimilikinya dan disimpan di bank syariah juga besar, mungkin sudah dalam hitungan triliun rupiah. Bayangkan saja, jumlah sekolah, perguruan tinggi dan rumah sakit yang dikelola ormas Islam ini, tersebar di semua daerah.Â
Tentu saja dana Muhammadiyah tersebut jadi incaran banyak bank. Tanpa dana masuk yang memadai, bank akan kekurangan dana untuk dikucurkan sebagai kredit kepada nasabah (individu dan perusahaan) yang membutuhkan pinjaman. Tapi, Muhammadiyah tak sembarang memilih bank, punya semacam kriteria tertentu.
Selama ini BRI Syariah dipilih karena komitmennya untuk pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Artinya, simpanan dari Muhammadiyah akan terpakai buat pembiayaan UMKM. Memang, seperti induknya Bank Rakyat Indonesia, BRI Syariah pun mayoritas kredit yang diberikannya ditujukan buat para pelaku usaha mikro yang tersebar di berbagai penjuru.
Tapi, dari berita di media daring, antara lain di bisnis.com (23/12/2020), ternyata Muhammadiyah  tidak hanya menyimpan di BRI Syariah, tapi juga di dua bank lain yang ikut bergabung jadi BSI. Disebutkan bahwa dalam waktu dekat PP Muhammadiyah akan menerbitkan petunjuk teknis terkait dana yang disimpan di tiga bank syariah pemerintah dan penempatan dana setelah BSI beroperasi.
Artinya akan ada evaluasi ulang apakah akan tetap seperti sekarang atau akan dipindahkan ke bank syariah lain. Seperti diketahui, masih ada satu bank pemerintah lain, yakni Bank Tabungan Negara (BTN) yang tidak ikut bergabung ke BSI. Hanya saja BTN Syariah secara badan hukum belum terpisah dari induknya, hanya merupakan Divisi Unit Usaha Syariah.
Selain itu, ada bank milik pemerintah daerah yakni Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang sepenuhnya beroperasi secara syariah, di Aceh dan Nusa Tenggara Barat. Sedangkan BPD Jawa Barat mempunyai anak perusahaan BJB Syariah. Kemudian, BPD lainnya, punya Unit Usaha Syariah (UUS) yang belum dilepas menjadi anak perusahaan.Â
Pada skala yang lebih kecil, di kota-kota kecamatan, banyak berdiri Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), yang nasabahnya lebih terbatas pada masyarakat di sekitar BPRS beroperasi.
Jika membaca lanjutan berita bisnis.com di atas, PP Muhammadiyah menghendaki bank syariah yang dikelola secara transparan, akuntabel, dan punya kebijakan khusus bahwa minimal 60 persen dananya digunakan untuk pembiayaan UMKM. Muhammadiyah sangat concern dengan pemberdayaan ekonomi rakyat, penciptaan lapangan kerja dan terwujudnya keadilan sosial.
Tekad Muhammadiyah itu pantas diapresiasi. Biasanya, lembaga atau perusahaan yang punya dana besar, akan menempatkan dananya di bank yang memberikan suku bunga (di bank syariah disebut dengan imbal hasil) yang tinggi, tanpa peduli ke mana dananya tersebut disalurkan oleh bank, yang mungkin saja menjadi kredit kepada perusahaan milik konglomerat.
Nah, dengan demikian, bisa pula ditafsirkan bahwa dengan bergabungnya tiga bank syariah pemerintah menjadi BSI yang berukuran jumbo, Muhammadiyah mempertanyakan, masihkah bank tersebut berpihak pada UMKM. Jangan-jangan bank ini lebih suka main jalan pintas, yang penting mengeruk untung, yakni dengan memperbesar porsi pembiayaan pada korporasi (perusahaan besar).
Terlepas dari persoalan penempatan dana Muhammadiyah di atas, sekiranya ada pihak yang meragukan komitmen BSI terhadap pengembangan UMKM, rasanya cukup beralasan.Â
Soalnya, dengan berubah menjadi BSI, yang dominan aset bawaan dari BSM, ada kesan fokus bisnisnya akan lebih dominan membiayai korporasi. Apalagi yang menjadi direktur utama BSI adalah Herry Gunardi, yang terakhir menjabat Wakil Direktur Utama Bank Mandiri.Â
Seperti diketahui, Bank Mandiri adalah bank yang banyak membiayai korporasi, sehingga BSM pun dinilai kurang lebih seperti induknya. Lalu, sekarang BSM menjadi bank yang dominan mewarnai BSI. Inilah barangkali yang dikhawatirkan PP Muhammadiyah.
Sekarang tinggal bagaimana manajemen BSI menyikapinya. Sekiranya BSI bisa menyampaikan strategi bisnis jangka panjangnya kepada publik, di mana terdapat keberpihakan untuk mengembangkan UMKM, maka masalahnya jadi kelar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H