Atau, orang yang mampu ini memang tak ada kemauan untuk terlihat menonjol. Di forum rapat, meskipun ia punya ide, ia simpan saja, kecuali kalau ditanya bos, baru ia menjawab. Ia malas melakukan lobi, malas menambah jaringan pertemanan. Padahal, kalau ia mau, ia juga bisa bergaul.
Jadi, bila perusahaan merekrut orang yang kemampuannya tinggi, tapi dorongan berperstasinya tidak menonjol, boleh dikatakan dilihat dari sisi perusahaan merupakan hal yang mubazir. Saat seleksi perekrutan, calon yang terlihat pintar karena mampu menganalisis suatu masalah, cenderung membuat tim penguji tertarik.
Tapi, setelah dipasang di posisi tertentu, ternyata si pintar ini lembek dalam berjuang, kurang greget, dan sering memainkan "rem" di saat sebaiknya tancap gas. Diberikan suntikan motivasi oleh atasannya tetap tidak bisa membakar semangatnya, di sinilah perusahaan akan merasa salah pilih.
Tak heran, banyak bos yang lebih menghargai karyawannya yang bertipe pekerja yang tekun, mau belajar dan bersemangat menerima tantangan, ketimbang mereka yang kritis, analitis, banyak berteori, tapi lamban dalam mengeksekusi.Â
Demikian juga mereka yang hanya diam, kurang percaya diri dan cenderung cari aman, meskipun tak pernah menolak perintah atasan. Namun, potensinya tidak dimanfaatkan sepenuhnya dan menyerahkan hasil pekerjaan kepada atasannya dengan standar yang asal jadi saja, belum memberikan yang terbaik yang dia seharusnya bisa.
Kelambanan mengeksekusi atau mengeksekusi secara asal jadi, cerminan dari dorongan berprestasi yang rendah. Maka, bagi mereka yang sedang atau akan meniti karir di sebuah instansi atau perusahaan, sebaiknya "berkaca" dulu untuk mengukur seberapa besar dorongan berprestasi yang dipunyainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H