Berbicara tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di negara kita, artinya membicarakan nasib mayoritas penduduk. Betapa tidak, jumlah pelaku UMKM menurut data kemenkeu.go.id, sebanyak 64,2 juta orang atau 99,99 persen dari seluruh pelaku usaha.
Artinya, yang tergolong perusahaan besar hanya 0,01 persen, meskipun karena ketimpangan kepemilikan aset, yang segelintir ini justru mendominasi. Makanya, pemberdayaan UMKM bersifat mutlak, karena itu tadi, menyangkut mayoritas penduduk.Â
Bukankah kalau satu pelaku menanggung seorang istri dan dua orang anak, artinya dengan dirinya sendiri sudah 4 orang. Maka, dikalikan dengan 64,2 juta pelaku UMKM, sudah hampir sama dengan semua penduduk Indonesia.
Namun, kalau kita rinci, UMKM itu ada tiga tingkatan, yakni: mikro, kecil, dan menengah. Untuk yang menengah sebetulnya bisa dikatakan relatif mapan. Istilah pemberdayaan, sebaiknya diutamakan pada usaha kecil dan mikro. Atau bila dibatasi lagi, maka lapisan terbawahlah, yakni usaha mikro yang perlu diprioritaskan.
Jika usaha kecil masih lebih beruntung karena biasanya sudah punya tempat usaha yang terpisah dari rumah (misalnya berdagang di kios kecil), maka usaha mikro betul-betul usaha rumahan, dilakukan di rumah. Contohnya membuat jajanan tradisional atau membuka warung kecil di halaman rumah sendiri.
Dari sisi pemerintah, ada banyak jenis bantuan yang diberikan pada pelaku usaha mikro, termasuk pada masa pandemi ini berupa bantuan langsung tunai. Ada juga bantuan ikut pelatihan. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga tak sedikit yang memberikan bantuan kepada usaha mikro.
Tapi, karena jumlah pelaku usahanya yang sangat banyak, bantuan di atas baru menyentuh sebagian kecil pelaku usaha, sisanya terpaksa "berdarah-darah" demi mencari sesuap nasi.
Nah, sungguh tepat bila sebagai anggota masyarakat, kita punya perhatian terhadap perkembangan usaha mikro, hitung-hitung, anggap saja sebagai bantuan "dari rakyat untuk rakyat".
Makanya, imbauan agar masyarakat berbelanja di warung tetangga, tidak menawar harga, tidak ngutang, jelas hal yang sangat bermanfaat sebagai wujud kebersamaan, menciptakan lingkungan sosial yang sehat, serta mempersempit ketimpangan.
Namun demikian, yang namanya imbauan ya hanya imbauan, tidak bisa dipaksakan. Dalam pelaksanaannya, terpulang pada kesadaran masing-masing orang.Â
Memang rasa kasihan seseorang cepat tergugah melihat perjuangan gigih seorang pedagang kecil. Tapi, pedagang kecil yang kerjanya memalak pembelinya, justru bikin orang ngeri. Jelas bukan, kenapa tidak bisa dipaksa untuk berbelanja di warung kecil?