Indonesia merupakan negara yang kaya dengan berbagai jenis masakan, dari yang pedas, asam, gurih, dan berbagai variasi rasa lainnya. Masing-masing etnis di Indonesia punya bumbu khas dalam memasak.
Tapi, ada satu hal yang sama di semua suku tersebut, yakni sama-sama mempunyai masakan yang berbahan utama daging ayam dan telur ayam. Tak heran kalau dikatakan masyarakat kita adalah penggemar setia makanan ayam dan telur sebagai lauk yang dimakan bersamaan dengan nasi.Â
Meskipun digemari, belum tentu setiap orang mampu membeli makanan berbahan ayam karena harganya relatif mahal. Sedangkan telur harganya lebih murah dan relatif terjangkau bagi masyarakat kelas bawah sekalipun.Â
Namun, secara keseluruhan, berbicara tentang ayam dan telur adalah membicarakan bisnis besar karena dikonsumsi oleh segala lapisan. Mata rantainya panjang, dari skala usaha ultra mikro hingga korporasi.Â
Seorang teman saya, sudah 4 bulan ini punya bisnis kecil-kecilan, yakni berjualan nasi dengan menu ayam bakar. Ia menyewa lapak kecil memakai tenda di halaman ruko di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.Â
Bersama istrinya ia sudah beraktivitas sejak jam 4 pagi dengan berbelanja membeli 2 atau 3 ekor ayam di pasar terdekat. Kemudian mereka mulai memasak  di rumah dan selanjutnya berjualan dari jam 8 pagi hingga habis stoknya. Biasanya sekitar jam 3 atau 4 sore sudah habis.Â
Memang pelanggannya belum banyak, makanya ia belum berani membeli ayam dalam jumlah yang lebih banyak. Namun, dengan sekitar 20 porsi nasi ayam yeng terjual setiap hari, ia menangguk untung Rp 100.000. Hitung-hitungannya, satu porsi dijual Rp 15.000 dengan keuntungan bersih Rp 5.000.
Sekitar Rp 100.000 pula keuntungan yang diperolehnya setiap hari dari penjualan minuman, yakni kopi, teh, dan air mineral. Dengan demikian, teman saya secara total mendapat keuntungan Rp 200.000 sehari, yang sangat membantu untuk menutupi kebutuhan rumah tangganya.
Jelaslah, ayam sudah jadi penyelamat bagi teman saya tersebut, setelah ia kehilangan pekerjaan sebagai pegawai kontrak di sebuah perusahaan. Perusahaannya itu bangkrut sebagai dampak pembatasan sosial di masa pandemi Covid-19 sekarang ini.
Bayangkan betapa banyaknya keluarga di Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari ayam dan telur. Dan ingat, bisnis makanan adalah bisnis yang tak ada matinya. Boleh saja ada pandemi yang menyebabkan pelanggan tidak boleh makan di restoran. Tapi, pesanan untuk dibawa ke rumah, masih mengalir karena semua orang butuh makan.
Ambil contoh sebuah nama besar pada gerai makanan ayam goreng, yang merupakan waralaba yang induknya berada di Kentucky, Amerika Serikat. Keberadaannya di Indonesia sudah merambah sampai ke kota kecamatan. Jika satu gerai punya pekerja 5 orang saja, sudah berapa puluh ribu orang yang mendapat penghasilan dari gerai ini.
Padahal, gerai makanan siap saji berbahan baku daging ayam, demikian banyak. Tidak hanya waralaba asing, tapi yang lokal pun berjaya. Nama dagangnya pun rada unik, ada nama berbahasa Inggris, bahasa Indonesia, maupun bahasa daerah.Â
Gaya masakannya, selain ayam goreng, ayam gulai atau ayam bakar yang sudah biasa, juga ada ayam penyet, ayam pop, ayam kremes, ayam geprek, dan sebagainya. Belum lagi bila diperlebar dengan soto ayam, sate ayam, bakmi ayam, burger ayam, lemper ayam, dan entah apa lagi namanya.
Kemudian kalau berbicara telur, ada telur bulat balado, telur gulai, telur dadar, telur mata sapi, kerak telur, lontong sayur pakai telur, gado-gado pakai telur, martabak spesial pakai telur, dan sebagainya. Yang jelas, makanan berbasis ayam dan telur jauh lebih banyak peminatnya dibanding daging sapi, ikan, atau yang lainnya.
Itu baru berbicara dunia per-ayam-an di sektor hilirnya. Kalau dicermati di sektor hulu berupa peternakan ayam, baik yang  berlabel peternakan rakyat maupun yang diusahakan grup usaha besar sekelas konglomerat, ini nilainya tidak main-main. Dalam hal ini ada peternakan ayam pedaging dan juga ayam petelur.Â
Belum lagi industri pendukung seperti penyediaan pakan ternaknya, bibit, obat serta vaksin untuk ayam. Begitu pula sektor transportasi atau ekspedisi yang jadi pengantar, dan sebagainya. Mereka yang berkecimpung di bagian perkreditan di sebuah bank, sangat memahami bagaimana prospek keuntungan peternakan ayam, meskipun ada risiko penyakit yang perlu diwaspadai.
Jika masing-masing orang yang hidup dari ayam dan telur berstatus sebagai kepala keluarga yang menanggung seorang istri dan dua atau tiga orang anak, di seluruh Indonesia barangkali sudah jutaan jiwa yang terselamatkan oleh ayam dan telur, termasuk di era pandemi ini.Â
Toh, angka satu juta, baru sekitar 0,4 persen dari total penduduk Indonesia. Padahal, demikian banyak orang yang penghasilannya berkaitan dengan ayam dan telur dan segala hal yang bisa dikaitkan dengan itu.
Jadi, ayam dan telur itu besar jasanya, tidak saja menyumpal mulut mereka yang lapar dalam arti sesungguhnya, tapi juga penyelamat ekonomi banyak keluarga. Makanya, jangan main-main dengan ayam dan telur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H