Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Edhy Prabowo Dapat Teman, Kader Partai di Kabinet Memang Rawan

7 Desember 2020   07:20 Diperbarui: 7 Desember 2020   07:25 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Edhy Prabowo, kader Partai Gerindra, sekarang sudah punya teman senasib. Menteri Sosial Juliari Batubara menyusul Edhy, sama-sama ditersangkakan melakukan tindakan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ternyata, KPK masih bergigi, meskipun mendapat serangan bertubi-tubi sejak terjadi perubahan kepemimpinan di lembaga anti rasuah yang paling ditakuti pejabat itu pada akhir tahun lalu. Serangan dimaksud adalah dikeluarkannya UU tentang KPK yang baru, yang dinilai beberapa pihak sebagai memperlemah KPK.

Edhy dan Juliari sama-sama kader partai. Edhy dari Partai Gerindra dan Juliari dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Memang, keduanya tentu punya kesempatan untuk membela diri dalam proses persidangan kelak. Tapi, keduanya sudah "menampar" muka Presiden Joko Widodo yang memberikan amanah.

Tidak hanya  itu, tentu wajah partai masing-masing juga jadi ikut tercemar, meskipun tindakan yang disangkakan kepada keduanya tidak sepengetahuan partai. Jadi, keduanya disebut sebagai oknum saja.

Beda keduanya, selain berbeda partai, adalah berbeda modus korupsinya. Edhy diduga menerima gratifikasi dari perusahaan yang diberi izin untuk mengekspor benih lobster, sedangkan Juliari dari belanja negara untuk bantuan sosial (bansos). Bila bansos untuk masyarakat miskin terbukti nantinya dimainkan, tentu hal ini sangat mengenaskan.

Menurut tayangan berita dari salah satu stasiun televisi, Minggu (6/12/2020), setiap paket bansos dianggarkan Rp 300.000 per orang dan diduga mengandung fee Rp 10.000. Namun, karena yang dapat bantuan jutaan orang, maka fee-nya mencapai miliaran rupiah.

Presiden Jokowi sendiri sudah mewanti-wanti untuk tidak main-main dengan uang rakyat, apalagi untuk bansos yang memang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang sangat terpukul karena bencana pandemi Covid-19.

Dua menteri yang kena cokok KPK pada periode kedua kepemimpinan Jokowi yang baru berumur satu tahun, tentu membuat Jokowi sangat geram. Kebetulan atau bukan, keduanya tokoh partai, dua partai terbesar di negeri ini. Seperti diketahui, PDIP adalah pemenang pileg 2019 lalu dan Gerindra di posisi kedua.

Pada periode pertama  Jokowi, menteri yang terlibat kasus korupsi adalah Imam Nahrawi, ketika itu menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). Imam juga orang partai, berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). 

Kasus yang menimpa Imam berkaitan dengan dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) melalui Kemenpora tahun anggaran 2018. Padahal, nama Imam sangat harum berkat kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018.

Tidak hanya Imam, politisi Partai Golkar, Idrus Marham, yang pernah mengisi pos yang sekarang diduduki Juliari Batubara, juga bernasib sama. Tapi, Idrus bukan tersandung dari poyek di Kementerian Sosial, namun karena dugaan menerima fee dari proyek PLTU di Riau.

Kalau mau diperpanjang, bisa dilihat siapa saja menteri dari pemerintahan sebelum Jokowi yang menerima hukuman gara-gara korupsi. Paling tidak, tercatat dua nama, yakni Siti Fadilah Supari yang menjabat sebagai Menteri Kesehatan pada periode pertama SBY dan Menpora pada periode kedua SBY, Andi Alfian Mallarangeng.

Siti Fadilah terjerat kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) pada tahun 2007, meskipun ia juga diniai berjasa dalam menangani kejadian luar biasa (KLB) flu burung. Sedang yang lebih menghebohkan adalah kasus yang dihadapi Andi Mallarangeng karena berkaitan dengan proyek pembangunan pusat pendidikan olahraga di Bukit Hambalang, Jawa Barat, yang sekarang terbengkalai.

Andi Mallarangeng adalah kader Partai Demokrat, bahkan termasuk tokoh kunci. Adapun Siti Fadilah membantah bila ia disebut kader Partai Amanat Nasional (PAN). Tapi, Siti mengakui punya kedekatan dengan Muhammadiyah. Masyarakat mengetahui, bahwa meski tidak ada hubungan langsung, Muhammadiyah dan PAN itu punya ikatan batin.

Okelah, anggap saja Siti bukan kader partai. Namun, apapun itu, tidak berlebihan bila disimpulkan bahwa kader partai yang ditempatkan di kabinet, terbilang rawan. Rawan bukan berarti harus dicurigai, tapi sang menterinya sendiri yang harus lebih mawas diri. Soalnya, mata dan telinga dari petugas di beberapa instansi yang berwenang mengawasi, juga dari penggiat anti korupsi, akan lebih tajam mengamati.

Kader partai yang masih nekad korupsi, itu artinya tidak menghargai perjuangannya sendiri. Menjadi menteri adalah sebuah pengakuan akan kapabilitasnya. Sangat sayang bila akhirnya karier politiknya berakhir di penjara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun