Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Generasi Sandwich? Biar Aku Saja, Anakku Jangan

4 Desember 2020   00:01 Diperbarui: 5 Desember 2020   07:44 1274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekarang, 3 orang anak saya sudah boleh dikatakan dewasa, meskipun belum ada yang menikah, tapi tinggal si bungsu yang masih kuliah. Bagaimana kehidupan saya dan istri nantinya, tentu sering menjadi perenungan saya. Harapan saya, anak-anak saya tidak usah menerapkan pola generasi sandwhich. Bila mereka bisa mandiri, itu sudah sangat saya syukuri.

Secara finansial saya berharap nantinya tidak akan  membebani anak-anak. Tapi secara mental saya merasa tetap membutuhkan perhatian mereka. Saya tidak bisa membayangkan bila misalnya tinggal berdua saja sama istri, sementara anak-anak sudah berkeluarga tanpa sempat bertanya kabar, bahkan kalau bisa tetap berkumpul pada hari-hari tertentu.

Agar secara finansial mencukupi, saya sudah mempersiapkan semacam dana yang tersebar dalam beberapa pos. Jadi, bila membandingkan dengan kondisi ekonomi orang tua saya dulu, kondisi yang kami, para anak-anaknya, alami, alhamdulillah lebih baik. Kuncinya tentu karena gemblengan orang tua juga. 

Meskipun pendidikan kedua orang tua tidak tinggi, tapi anak-anaknya dengan segala cara (yang halal tentunya) diupayakan untuk sekolah tinggi. Masalahnya, saya sendiri tidak sekuat itu menggembleng anak-anak (dalam artian membangun karakter, bukan membiayai pendidikannya), sehingga ada kekhawatiran, apakah anak-anak saya bisa lebih baik nasibnya?

Beban generasi sandwich adalah bersifat vertikal, ke atas dan ke bawah, artinya melingkupi tiga generasi: kakek-nenek, ayah-ibu, dan para cucu. Di sinilah ada berbagai kemungkinan. 

Seperti pengalaman saya, generasi pertama kurang sukses, tapi terkompensasi dengan lebih berhasilnya generasi kedua, meskipun masih tanda tanya apakah generasi ketiga bisa mempertahankan.

Tapi, di lain pihak, masih famili saya sendiri, adik ayah saya yang pejabat, hidupnya lebih makmur, tapi anak-anaknya yang manja, sekarang hidupnya relatif susah setelah kedua orang tuanya meninggal. Parahnya, generasi ketiganya, diduga juga mengalami kesulitan, karena tidak dididik dengan baik.

Tentu juga ada kelompok yang belum berhasil memutus mata rantai kemiskinan, artinya dari generasi pertama hingga generasi ketiga, tetap pas-pasan. Yang paling baik adalah bila generasi pertama hingga ketiga selalu hidup berkecukupan, tapi ini mungkin termasuk langka. 

Kesimpulan saya, bila kita dalam posisi aktif bekerja, persiapan finansial untuk kebutuhan masa pensiun kelak, mutlak perlu, agar tidak menajadi beban anak-anak. Sungguh tidak nyaman bila ada ketergantungan, meskipun terhadap anak sendiri.

Bagi yang bekerja di instansi pemerintah atau di perusahaan yang memberikan uang pensiun bulanan bagi para pensiunannya, tentu sudah punya sumber pemasukan buat kehidupan sehari-hari di masa tua. 

Tapi, bagi yang bekerja tanpa ada fasilitas pensiun, sekarang juga bisa mendaftar sebagai peserta program pensiun yang dikelola bank atau asuransi tertentu yang diizinkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun