Berbicara tentang pakaian bekas, karena saat remaja dulu saya sering mengunjungi kakak saya yang menetap di kota Dumai, Riau, saya tahu betapa banyaknya lapak atau kios yang menjual pakaian bekas asal Malaysia dan Singapura.Â
Dumai merupakan kota pelabuhan yang terletak di pesisir timur pulau Sumatera dan menghadap ke Selat Malaka.Â
Dari Dumai ada kapal ferry ke Malaka, Malaysia, dengan waktu tempuh sekitar dua hingga tiga jam. Konon, pakaian bekas yang masuk berkarung-karung ke Dumai dan kota-kota lain di provinsi Riau dan juga Kepulauan Riau, adalah barang selundupan.
Tak ada yang aneh dengan maraknya pasar pakaian bekas asal negeri jiran di negara kita. Hal ini tidak hanya terjadi di Riau, karena dengan cepat menyebar ke berbagai penjuru di tanah air. Di Jakarta sendiri, pakaian bekas banyak dijual di kawasan Senen, Jakarta Pusat.
Hal itu menjadi bukti bahwa tingkat kesejahteraan di Singapura dan Malaysia memang di atas Indonesia, karena aliran pakaian bekas secara natural mengalir dari negara yang lebih makmur ke negara yang kurang makmur.
Saya sendiri belum pernah membeli baju bekas, karena saat remaja dulu juga lumayan sering diberikan pakaian bekas oleh dua orang pak etek saya (pak etek adalah bahasa Minang yang artinya adik laki-laki dari ayah).
Sesuai dengan pernyataan saya tentang aliran pakaian bekas di atas, jelaslah bahwa pak etek saya dalam hal ini lebih makmur ketimbang ayah saya. Padahal jelas ayah saya yang lebih tua. Tapi, lebih tua bukan berarti lebih mampu. Bukankah negara kita juga lebih tua dari Malaysia?
Ayah saya adalah anak tertua dari tujuh bersaudara. Karena anak tertua, beliau menjadi tumpuan harapan kakek saya untuk meneruskan usaha kerajinan pembuatan sandal dan sepatu.Â
Lagipula, ketika ayah tamat SMP, suasana Indonesia dilanda kekacauan karena Belanda ingin menjajah kembali, meskipun Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaan.
Maka setelah lulus SMP, ayah saya diminta berkorban untuk mengubur impiannya menjadi guru. Adapun adik-adiknya berhasil menuntaskan pendidikannya, beberapa orang tamatan SGA (Sekolah Guru Atas, setingkat SMA), yang akhirnya menjadi guru, ada yang guru SD dan ada yang guru SMP. Ada juga yang sarjana yang kemudian menjadi kepala dinas di sebuah kabupaten di Sumbar.
Nah, ada dua dari tiga pak etek, yang sering memberikan kemeja bekasnya, sejak saya duduk di sekolah menengah sampai saya kuliah.Â
Tak ada rasa malu saya memakai baju bekas, justru merasa senang. Pilihan baju saya jadi lebih banyak dan semuanya layak pakai, tidak terlihat kusam.Â
Cara pak etek tersebut kemudian juga saya tiru. Kemaja saya yang masih layak pakai dan warna serta motifnya masih terlihat jelas, saya berikan kepada keponakan atau sepupu yang kurang mampu secara ekonomi.
Bahkan, suatu kali, saat berlebaran di kampung halaman, seorang sepupu saya terang-terangan meminta kemeja baru yang lagi saya pakai.Â
Awalnya saya merasa sayang juga, tapi setelah saya pertimbangkan, toh saya gampang membelinya bila telah kembali ke Jakarta.Â
Ya, akhirnya, setelah besoknya baju tersebut dicuci, saya berikan kepada sepupu saya tersebut.
Jujur, meskipun saya tidak terlalu sering berbelanja pakaian, tapi lama-lama pusing juga melihat jejeran pakaian yang memakan tempat. Padahal, kesempatan memakainya tidaklah sering.Â
Bila sebuah kemeja saya pakai hari ini, mungkin giliran dipakai lagi sudah tiga minggu kemudian, bahkan sudah pada bulan berikutnya. Tentu akan lebih bermanfaat bila diberikan kepada yang kekurangan pakaian, dari pada berdebu di rumah sendiri.
Sungguh saya terbelalak menyaksikan tayangan di televisi berupa liputan dari rumah para selebiritis. Jumlah pakaian, termasuk sepatu dan tasnya, sudah tak terhitung dan tak cukup hanya ditampung dalam satu kamar. Kalau hanya dibandingkan dengan jumlah pakaian di sebuah kios di pasar tradisional, masih lebih banyak punya si artis.
Ironisnya, di lain pihak, masih banyak warga yang menjadi bagian dari kelompok marjinal yang pakaiannya sangat sedikit dan sebetulnya juga sudah tidak layak pakai.Â
Jadi, melihat ketimpangan di kalangan masyarakat kita, sangat gampang, salah satunya dari pakaian. Maka, aliran pakaian bekas dari yang berkelebihan kepada yang berkekurangan, perlu semakin sering dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H