Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jadi Guru, Panggilan Jiwa dan Panggilan Perut

25 November 2020   19:37 Diperbarui: 25 November 2020   19:47 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. antara foto, dimuat matamatapolitik.com

Harian Kompas (23/11/2020) demikian banyak mengupas kisah penderitaan para guru honorer (selanjutnya ditulis GH). Saya merasa, apa yang telah saya lakukan selama ini, tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka yang demikian bersemangat mencerdaskan anak bangsa, meskipun menerima imbalan yang sangat rendah.

Coba simak kisah seorang  Diana Widayani, yang sudah 15 tahun jadi GH di sebuah SD di Banda Aceh. Upahnya Rp 670.000 per bulan. Padahal upah minimum pekerja di kota ujung barat Indonesia itu Rp 2,9 juta per bulan.

Teman Diana sesama GH di Banda Aceh, tapi di SD yang berbeda, nasibnya lebih mengenaskan lagi, karena hanya menerima Rp 230.000 per bulan. Hal ini mungkin berkaitan dengan statusnya yang masih junior, baru 2 tahun menjadi GH.

Dengan penghasilan sekecil itu, jelas para GH tidak sanggup membeli laptop atau telpon pintar, padahal kedua barang ini sangat dibutuhkan sebagai sarana pembelajaran di saat pandemi sekarang ini.

Saya tidak habis pikir, ternyata jumlah GH di seluruh Indonesia sangat banyak, yang artinya tanpa keberadaan mereka, bisa jadi berbagai program pemerintah di bidang pendidikan tidak akan berjalan dengan baik.

Sebagai keluarga guru, saya bisa merasakan beratnya perjuangan mereka. Apalagi saat pandemi sekarang ini dengan menggunakan metode belajar jarak jauh, bukannya memudahkan, malah membuat guru pontang panting menyiapkan materi pelajaran dan memantau penyerapan materi oleh para muridnya.

Di lingkungan keluarga besar saya, ada 9 orang guru, mulai dari tante, om, kakak, adik, keponakan, dan bahkan istri saya juga seorang guru. Namun, karena hampir semuanya berstatus pegawai negeri, meskipun tidak kaya, penghasilannya relatif memadai. 

Hanya ada seorang keponakan saya yang bersatus GH, yang untungnya masih tinggal besama orang tuanya karena belum berkeluarga. Untung juga ia seorang wanita, sehingga harapannya nanti bisa mendapatkan jodoh yang punya penghasilan memadai.

Tidak terbayang bila si keponakan ini seorang laki-laki, yang kalau saja sudah berumah tangga dan istrinya tidak ikut mencari nafkah, sungguh sangat berat. Dengan honor per bulan hanya beberapa ratus ribu rupiah, jauh di bawah upah minimum regional, sebetulnya bisa dibilang sangat tidak sebanding dengan jerih payahnya.

Jangan heran, banyak GH yang terpaksa melakukan pekerjaan sambilan setelah menunaikan tugasnya sebagai guru. Ada yang menarik ojek motor, menjadi tukang pangkas rambut, membuat dan berjualan kue, menjadi guru privat atau guru bimbingan belajar, dan sebagainya.

Sering pekerjaan sambilan tersebut mendatangkan penghasilan yang lebih besar dari jadi GH. Tapi, tidak ada, atau relatif jarang, mereka yang berniat meninggalkan pekerjaannya sebagai pendidik. Keterikatan batinnya dengan anak didik sudah demikian erat, lebih dari sekadar guru dan murid. Pengabdiannya yang tulus ikhlas, jangan ditanya lagi.

Maka, boleh disebutkan bahwa menjadi guru, meskipun berstatus GH, sudah jadi panggilan jiwa. Sayangnya, panggilan jiwa bila tidak diikuti dengan "panggilan perut" dalam arti terpenuhinya kebutuhan para GH untuk biaya kehidupan sehari-hari, walaupun dengan standar minimal, seperti adanya pembiaran atau menelantarkan nasib GH oleh pemerintah dan pihak lain yang terkait.

Memang, para GH kebanyakan orang-orang yang patuh, tidak mau ribut-ribut melakukan protes atau unjuk rasa. Sayangnya, pemerintah mungkin salah mengartikan sikap nrimo para GH. Akhirnya, karena sudah terlalu sering didiamkan, sekarang sudah mulai mucul aksi unjuk rasa para GH di beberapa tempat.

Untunglah, sekarang muncul berita bagus yang mudah-mudahan betul-betul bisa direalisir, bukan sekadar PHP (pemberi harapan palsu). Media massa sudah banyak menulis bahwa pada tahun depan akan dilakukan seleksi massal GH menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).

PPPK memang kedudukannya di bawah pegawai negeri sipil (PNS), tapi posisinya secara hukum sudah lumayan bagus, karena termasuk sebagai aparatur sipil negara (ASN). Artinya, ASN terdiri dari dua kelompok besar, PNS dan PPPK. PNS mendapatkan hak pensiun, sedangkan PPPK tidak mendapatkannya, sehingga harus pintar-pintar mengelola penghasilannya, agar sebagian bisa disimpan.

Panggilan jiwa yang telah ditunjukkan para GH, tak cukup hanya dihibur dengan memberikan gelar pahlawan tanpa tanda jasa, tapi harus diimbangi dengan memenuhi panggilan perut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun