Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Donald Trump Akui Kehebatan Xi Jinping, Pujian atau Sindiran?

27 November 2020   06:04 Diperbarui: 27 November 2020   08:02 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Xi Jinping (foto AFP, dimuat scmp.com)

"Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup. Dia hebat. Lihatlah, dia bisa melakukan itu. Saya kira ini menarik. Mungkin suatu saat kita boleh juga mencobanya." Demikian ucapan Presiden AS yang gagal terpilih kembali, Donald Trump, terkait kepemimpinan di China, seperti ditulis pada Tajuk Rencana, Kompas, Senin (23/11/2020).

Bila ditelusuri dari berbagai berita terkait kepemimpinan di China, ternyata pada awal Maret 2018 memang ada perubahan dalam periode kekuasaan seorang presiden. Seperti ditulis cnbcindonesia.com (12/3/2018), Badan Legislatif China secara resmi menghapus batas masa jabatan kepresidenan.

Dengan demikian, Presiden China Xi Jinping dimungkinkan menjadi presiden seumur hidup. Hanya ada satu partai di negara tirai bambu itu, yakni Partai Komunis China. Namun, di partai tersebut terdapat dua faksi, yakni faksi populis dan faksi elitis yang disebut juga faksi Jiang Zemin sesuai nama mantan presiden sebelum Xi Jinping.

Sejak menjadi presiden pada 2012 lalu, Xi sudah terlibat dalam pertarungan hidup mati dengan faksi Jiang Zemin, bahkan pada 2017 beredar rumor faksi Jiang Zemin akan melakukan kudeta. Untuk melindungi diri, Xi Jinping menggulirkan beberapa perubahan yang akhirnya memuluskan langkahnya untuk menjadi presiden seumur hidup.

Tentang komentar Trump terhadap Xi, tidak tahu apakah tulus berupa pujian, atau justru sindiran. Seperti diketahui, Trump sendiri gagal untuk terpilih kembali menjadi presiden buat periode keduanya. Trump merasa dicurangi, tapi sudah dapat dipastikan bahwa Trump harus menyerahkan kursinya kepada saingannya Joe Biden.

Tapi, membandingkan sistem pemerintahan di AS, yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi dunia, dengan sistem di China yang dari kacamata dunia bukan termasuk negara yang demokratis, jelas sulit dilakukan, tidak apple to apple. Andaipun Trump memenangkan pilpres, maksimal masa kekuasaannya hanya 8 tahun. 

Jangan pernah politisi AS bermimpi akan menjadi presiden seumur hidup, kecuali bila ditakdirkan meninggal dunia dalam masa kepresidenannya. Dalam catatan sejarah, ada Presiden AS yang mati tertembak, seperti yang dialami John F Kennedy.

Sistem pemerintahan yang baik seharusnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di negaranya. Pada umumnya, negara demokratis lebih menjamin kesejahteraan tersebut. Sedangkan negara otoriter dianggap akan menyengsarakan rakyat.

Namun, pendapat di atas akhirnya dibalikkan oleh apa yang terjadi di China, yang secara spektakuler muncul menjadi negara superpower baru, yang mengancam dominasi AS di kancah perekonomian global. Tak heran, terjadi rebutan pengaruh di panggung internasional antara AS dan China.

Justru di era Trump lah, kecaman terhadap China demikian vulgar, yang mencerminkan betapa terancamnya AS dan takut negara mitranya berpaling dengan memilih lebih banyak berkolaborasi dengan China.

Maka, bila ukurannya adalah tingkat kesejahteraan atau tingkat pertumbuhan ekonomi, membicarakan demokrasi tidak lagi begitu relevan. Apalagi ada kecenderungan demokrasi di banyak negara, mungkin juga termasuk di AS, akhirnya hanya menguntungkan segelintir mereka yang mempunyai modal besar. Ringkasnya, orang yang punya duit bisa membeli suara rakyat.

Ambil contoh di Indonesia, secara umum jelas terlihat bahwa demokrasi yang digadang-gadang akan tumbuh subur sejak bergulirnya reformasi, akhirnya banyak memunculkan para politisi dadakan yang berlatar belakang pengusaha. Muncul pula para cukong politik yang menjadi sponsor dalam arena pilkada yang nantinya berharap menerima barter dari berbagai proyek pembangunan.

Jangan kaget bila mereka yang sudah berusia di atas 50 tahun, banyak yang merindukan ketentraman di era Orde Baru yang sebetulnya kurang demokratis. Jika saja Pak Harto tidak mundur pada tahun 1998 dan dengan segala cara mempertahankan kekuasaannya, bisa jadi akan menjadi presiden seumur hidup.

Sekarang banyak ditemukan postingan di media sosial bertuliskan seperti ini: "Piye kabare? Enak jamanku, to?" Maksudnya jelas, ini semacam kerinduan pada kehidupan yang tenang di zaman dulu, ketika para petani merasa lebih diuntungkan karena produksi pertanian sangat diperhatikan dan harganya pun stabil.

Padahal, cukup banyak korban Orde Baru, di mana suara yang berseberangan dengan pemerintah dibungkam dan terjadi beberapa kali pelanggaran hak asasi manusia yang hingga saat ini belum terungkap.

Jadi, idealnya, Indonesia mampu lebih sejahtera dan sekaligus lebih demokratis. Artinya, yang baik dari China dan dari AS, kita ambil, yang buruknya dibuang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun