Untuk kesekian kalinya Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga yang menjadi acuan bagi perbankan nasional. Baru-baru ini Gubernur BI mengumumkan penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen per tahun.
Jika dihitung sejak Januari tahun ini, suku bunga acuan BI telah turun 125 basis poin, karena posisi awal Januari 2020 masih 5 persen. Padahal sepanjang tahun 2019 juga telah turun sebesar 100 basis poin.Â
Jadi, jika dibandingkan dengan suku bunga dua tahun lalu, tidak terbayang suku bunga akan serendah saat ini, yang boleh dikatakan terendah dalam 20 tahun terakhir, bahkan mungkin lebih.
Rendahnya suku bunga sebetulnya telah diprediksi mengingat tingkat inflasi di negara kita yang juga rendah, bahkan pernah juga terjadi deflasi atau penurunan harga barang secara umum.Â
Soalnya, suku bunga tersebut pergerakannya antara lain ditentukan oleh pergerakan inflasi. Jika inflasi meningkat, suku bunga juga perlu dinaikkan agar nilai uang dalam sistem perbankan tidak tergerus.
Suku bunga yang berlaku di bank-bank memang tidak persis sama dengan suku bunga BI. Bank yang kekurangan dana, bisa saja memasang suku bunga deposito sebesar bunga acuan BI plus 1 persen. Tapi bank yang dananya sudah melimpah, malah bisa saja memasang suku bunga sedikit di bawah BI.Â
Patut diketahui, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga menetapkan suku bunga maksimum yang dijaminnya, sehingga bila ada bank yang bangkrut, nasabah yang menyimpan di sana yang menerima bunga tidak lebih besar dari suku bunga penjaminan LPS, bisa mengklaim ke LPS. Suku bunga LPS saat ini 1 persen di atas suku bunga acuan BI.
Nah, sekarang siapa yang merasa diuntungkan dan siapa yang merasa dibuntungkan atau siapa yang gembira dan siapa yang sedih dengan penurunan suku bunga yang masih saja berlanjut sejak dua tahun terakhir ini.
Para orang tua yang punya simpanan di bank, jelas sangat kecewa. Banyak lho para pensiunan yang berhasil menyisihkan uang yang didapat ketika mereka masih aktif, lalu mendepositokannya di bank. Ini memang bentuk simpanan paling aman dan bunganya di atas tabungan biasa.Â
Jika depositonya bernilai lumayan, katakanlah Rp 500 juta, dulu saat suku bunga masih 7 persen, cukup untuk kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pokok depositonya bisa utuh, semacam jadi dana terbeku.Â
Bayangkan, dengan suku bunga deposito di kisaran 3 hingga 4 persen per tahun, maka per bulannya tidak lagi mencukupi untuk sekadar menutupi pengeluaran rutin.
Berbeda dengan individual, sebetulnya yang menjadi andalan bank untuk menyimpan di banknya adalah dengan mengincar dana perusahaan dan dana instansi pemerintah atau pemerintah daerah yang berasal dari anggaran yang belum digunakan.
Terhadap dana yang gemuk itu, bank berani memberikan bunga di atas suku bunga untuk individu, biasanya disebut dengan special rate berupa hasil negosiasi. Bahkan, bunganya bisa di atas maksimal penjaminan LPS. Bank butuh dana besar untuk nantinya dikucurkan sebagai kredit ke pihak lain.
Masalahnya selama masa pandemi ini, karena banyak pengembalian kredit yang macet, bank terlihat memperlambat laju pertumbuhan kreditnya. Padahal di lain pihak, laju pertumbuhan dana masuk dari simpanan masih relatif bagus. Akibatnya, bank kelebihan likuiditas, dan agaknya bank tidak lagi jor-joran memberikan bunga special rate kepada  pemilik dana gemuk.
Jadi, selain orang tua, bendaharawan perusahaan dan bendaharawan instansi pemerintah yang selama ini kecipratan bunga tinggi, juga menjadi pihak yang ikut dikecewakan dengan turunnya suku bunga bank.
Lalu, siapa yang diuntungkan? Generasi milenial yang meminjam kredit konsumtif untuk membeli mobil atau rumah, atau kredit usaha bagi yang memulai bisnis startup, pasti akan menyambut penurunan suku bunga dengan gembira.
Seharusnya pelaku usaha konvensional, dari yang berskala mikro hingga skala korporasi, juga diuntungkan dengan bunga yang rendah. Soalnya, sudah lazim dunia usaha berkembang berkat bantuan pinjaman bank.
Masalahnya, kondisi pandemi saat ini belum kondusif untuk dunia usaha, kecuali yang berkaitan dengan bisnis obat-obatan atau yang memproduksi alat pelindung diri (APD).Â
Jika para pebisnis meminjam dana ke bank, lalu bisnisnya masih terpuruk, tentu sangat riskan. Lagipula, pihak bank belum tentu percaya begitu saja untuk mengucurkan dananya.
Maka, kecermatan berhitung para pebisnis akan sangat menentukan. Memang agak berbau spekulatif, tapi mereka yang instingnya tajam, bisa bergerak mendahului pesaing.Â
Maksudnya, bila mereka yakin pertengahan tahun depan situasi bakal pulih, Â sekarang mereka harus bergerak, melakukan investasi. Jika menunggu situasi betul-betul pulih, baru bergerak, justru sudah terlambat.
Begitulah, penurunan suku bunga selalu disikapi secara berbeda-beda oleh berbagai pihak. Tapi, secara umum, dilihat dari kacamata nasional, suku bunga yang rendah lebih menguntungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H