Ah yang bener, memang ada resepsi pernikahan yang menuai keuntungan? Ya, bisa jadi kalau ada tayangan langsung di televisi dengan bejibun sponsor seperti yang dulu dialami pasangan selebriti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.
Tapi, oke, lupakan saja, ini tentang orang biasa kok, rasanya jika mengadakan resepsi pernikahan, tidak mungkin meraih keuntungan. Makanya, pada judul di atas, saya kasih tanda petik. Boro-boro untung, pulang modal saja sudah syukur.Â
Namun, sekadar mengurangi beban, menjadi harapan semua pasangan, setelah habis-habisan mengeluarkan biaya untuk resepsi. Nah, ceritanya, seorang teman saya baru-baru ini curhat tentang kelakuan besannya. O ya kejadiannya sebelum ada pandemi Covid-19.
Si teman ini punya anak laki-laki yang ketika itu melangsungkan pernikahan dengan kekasihnya di Jakarta Selatan. Sedangkan soal resepsi, merupakan hajat pihak perempuan, namun teman saya ikut berkontribusi memberikan sejumlah uang. Ini gak masalah, hal yang wajar sebetulnya.
Hanya saja, diam-diam, tiga hari sebelum hari resepsi, calon besan ini meminta uang ke calon mempelai lelaki untuk berbagai keperluan tak terduga, yang jumlahnya relatif besar, lebih besar dari sumbangan resmi yang diberikan orang tua si calon mempelai laki-laki.
Masalahnya, yang bikin teman saya kecewa berat, anaknya baru cerita setelah beberapa hari resepsi selesai. Ternyata sewaktu acara resepsi, oleh penjaga buku tamu, para tamu diarahkan memasukkan sumbangan ke kotak tertentu, yang kemudian baru diketahui bahwa itu kotak untuk orang tua mempelai wanita.Â
Sedangkan kotak satu lagi yang dimaksudkan untuk kedua mempelai, hasil sumbangan dari para tamu kecil sekali. Si teman saya kecewa karena biaya pesta dominan dari anaknya, tapi "keuntungannya" lari ke besannya. Sekiranya anaknya tak banyak keluar uang, tidak jadi masalah.
Saya jadi teringat kisah salah seorang keponakan saya, yang saat menikah tahun 2012 lalu, betul-betul membiayai acara resepsinya secara patungan dengan kekasih yang jadi istrinya itu. Sama sekali para orang tua kedua belah pihak tidak mengeluarkan dana, karena pasangan ini sudah menabung sejak tahun 2008, ketika si keponakan diterima bekerja di sebuah bank papan atas dan pacarnya juga karyawati bank tetangganya.
Hebatnya, karena kedua mempelai merasa yang membiayai resepsi, semua kotak sumbangan digembok dan kuncinya dipegang oleh keponakan saya ini. Saya tidak tahu apa reaksi mertua keponakan saya, apakah terjadi kesalahpahaman atau tidak.Â
Jelas sangat berbeda dengan pengalaman saya menikah pada tahun 1991. Saat itu masih lazim para tamu memberi kado berupa barang, seperti setrika, bed cover, kompor gas, dan sebagainya. Kalau tidak salah saya dapat beberapa setrika yang akhirnya dibagikan ke famili dekat istri saya. Ada juga barang yang lebih murah seperti pakaian dalam, piring, gelas, sendok, garpu, taplak meja, dan sebagainya.
Kenapa hanya ke famili dekat istri saya? Karena itu memang resepsinya diselenggarakan oleh mertua saya, dan saya hanya memberikan kontribusi sejumlah uang. Tentu juga banyak barang yang akhirnya kami pakai sendiri dan yang dipakai mertua saya. O ya, acara buka kado besok setelah resepsi, sungguh asyik, penuh gelak tawa.