Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak-anak Asyik dengan Gawai, Kasihan atau Bangga?

22 November 2020   07:00 Diperbarui: 22 November 2020   07:06 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hingga saat ini saya masih belum punya cucu, meskipun hampir semua teman-teman saya sudah mempunyainya. Bagaimana saya mau punya cucu, kalau bermenantu pun baru pada tahap coming soon.

Tapi, sudah banyak anak-anak (semuanya masih balita) yang memanggil saya "atuk" yang dalam bahasa Minang artinya kakek. Mereka semua adalah cucu dari kakak-kakak saya. 

Kata orang, rasa sayang seorang kakek dan nenek kepada cucunya, sangat luar biasa, melebihi sayang kepada anak. Saya sependapat, karena meskipun hanya cucu kakak saya, saya juga sangat menyayangi mereka.

Secara umum saya merasa bangga, cucu-cucu saya itu sehat semua dan kepintarannya selalu bertambah sesuai pertambahan usianya. Namun, satu hal yang sungguh membuat saya khawatir, mereka pada kecanduan main gawai.

Masa anak-anak memang masanya untuk bermain. Tapi, bermain gawai bukan hal yang saya maksudkan. Maka, sungguh berbahagia rasanya menjadi anak-anak ketika belum ada gawai. Ketika dengan anak-anak tetangga bermain kelereng, main dakocan, main congklak, main petak umpet, serta berbagai permainan yang sekarang sudah tidak dikenal anak-anak lagi.

Bahwa bermain adalah hak anak, saya rasa kita semua sepakat. Tapi ada dua kondisi yang kontradiktif yang menimpa anak-anak di negara kita. Pada masyarakat kelas bawah, anak-anaknya banyak yang ikut membantu orang tua, ada malah yang "diperalat" agar dikasihani orang lain.  Tak sedikit pula anak-anak yang menjadi korban kekerasan dari orang tuanya atau kerabatnya sendiri.

Tapi, di pihak lain, pada masyarakat yang hidupnya lumayan baik, anak-anaknya bebas bermain, ya bermain gawai itu tadi. Minim interaksi sosial sehingga kemampuannya untuk bertenggang rasa kepada anak-anak lain tidak terasah. Sangat mungkin, kelak ketika mereka sudah dewasa, akan bermasalah dengan kecerdasan sosialnya.

Dari berbagai penelitian yang dihimpun oleh theasianparent.com, terdapat 10 bahaya penggunaan gawai oleh anak-anak berusia di bawah 12 tahun, yang sebagian di antaranya saya lengkapi dengan contoh dari pemikiran saya sendiri.

Pertama, akan mengganggu pertumbuhan otak anak. Perkembangan otak anak dipengaruhi oleh stimulasi lingkungan. Stimulasi berlebihan dari gawai dapat memperlambat daya kognitif,  gangguan dalam proses belajar, tantrum, meningkatkan sifat impulsif, serta menurunnya kemampuan anak untuk mandiri.

Kedua, membatasi gerak fisik sehingga menyebabkan tumbuh kembang yang terlambat. Ketiga, bisa menyebabkan obesitas. Keempat, kurang tidur yang akhirnya mengakibatkan turunnya prestasi di sekolah.

Kelima, menyebabkan kelainan mental seperti kurangnya atensi kepada orang lain. Keenam, berpotensi menimbulkan sifat agresif pada anak, karena terpapar dari apa yang dilihatnya tanpa pengawasan orang tua. Tontonan yang mengandung kekerasan, meskipun dibungkus dalam format film kartun, seolah-olah aman saja bagi anak, padahal bisa berbahaya.

Ketujuh, mengidap kecanduan  yang parah. Ini seperti yang dialami oleh salah seorang cucu saya, yang bisa sangat emosi, sampai mengamuk, bila tidak diberikan gawai oleh ibunya. Bila sudah pegang gawai, bisa anteng saja sampai berjam-jam, tidak ingat makan dan minum. 

Kedelapan, pikun digital, maksudnya anak-anak tidak bisa fokus dan susah memusatkan perhatian atau kurang konsentrasi dalam belajar. Kesembilan, terkena radiasi emisi yang nantinya bisa berlanjut menderita penyakit yang serius seperti kanker. Kesepuluh, teknologi membuat segalanya menjadi mudah sehingga otak anak tidak terasah, anak cenderung mencari jalan pintas.

Masalahnya, ketika anak terlihat asyik dengan gawainya, sebagian orang tua merasa terbantu karena tidak teraganggu untuk melakukan aktivitasnya. Apalagi bila kedua orangtuanya bekerja mencari nafkah. Yang lebih parah, ada orang tua yang bangga anaknya kecanduan gawai, merasa anaknya lebih trampil menggunakan teknologi canggih. Bahkan si cucu yang mengajarkan kakek neneknya menggunakan gawai.

Para orang tua seharusnya merasa masa depan anak-anaknya terancam kalau terus-terusan bermain gawai tanpa terkontrol, karena ini sudah tahap lampu merah, bukan lampu kuning lagi. Jalan keluarnya tak bisa lain, karena anak-anak adalah peniru yang baik, maka orang tua sendiri yang harus sering berpuasa gawai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun