Mahkamah Konstitusi (MK) relatif belum lama eksistensinya di negara kita, tepatnya baru berdiri pada tanggal 18 Agustus 2003. Kehadiran MK sangat penting dalam sistem ketatanegaraan kita, karena dipandang sebagai lembaga yang diberi kewenangan menguji apakah suatu Undang-Undang (UU) bertentangan atau tidak dengan konstitusi yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Bayangkan bila tidak ada MK, maka parlemen sebagai lembaga yang membuat UU bersama pemerintah menjadi begitu kuat, sehingga yang terjadi adalah supremasi parlemen, bukan supremasi konstitusi. Karena anggota parlemen banyak yang berlatar belakang pengusaha, bukan tidak mungkin UU yang dihasilkannya lebih menguntungkan buat kelompok pengusaha kelas menengah ke atas saja.
Dalam kondisi seperti itu, pihak yang merasa dirugikan dengan diberlakukannya suatu UU dapat mengajukan permohonan ke MK untuk menguji UU tersebut. Karena MK menjadi pihak yang paling berkompeten, jelas hakim-hakimnya harus "suci", agar putusannya sebagai penafasir UUD 1945 sudah objektif.
Selain menguji UU (sering disebut dengan judicial review), MK juga bertugas untuk memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Mengingat demikian vitalnya fungsi MK, tentu proses seleksi untuk memilih siapa yang duduk sebagai hakim MK dilakukan dengan sangat ketat, agar yang terpilih betul-betul orang yang tepat. Tidak saja kemampuannya dalam menguasai materi hukum, tapi yang terpenting adalah integritasnya, tahan godaan, dan harus orang yang "sudah selesai dengan dirinya sendiri".
Namun demikian, kenyataannya, dalam seleksi hakim MK, mau tak mau tetap bersinggungan dengan dunia politik. Soalnya, DPR menjadi salah satu pihak yang berwenang memilih hakim MK, selain hal yang sama dilakukan oleh Presiden dan Mahkamah Agung (MA).
Jangan kaget, dalam usia yang relatif pendek itu, dua hakim MK telah terjerat kasus korupsi, dan dua-duanya berlatar belakang politisi, yakni Akil Mochtar dan Patrialis Akbar. Akil merupakan kader Partai Golkar dan Patrialis kader Partai Amanat Nasional (PAN).
Nah, sekarang bukan heboh-heboh soal korupsi, tapi hakim MK kembali menjadi sorotan. Yang jadi persoalan adalah Bintang Mahaputera yang dianugerahkan kepada 6 orang Hakim MK baru-baru ini, sehingga memicu polemik. Mereka yang pro berpendapat bahwa hal ini boleh-boleh saja karena saat pemberian bintang, presiden bertindak sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan.Â
Sedangkan mereka yang kontra berpendapat hal itu sebagai bentuk intervensi pemerintah terhadap MK. Apalagi sekarang MK sedang menangani uji meteri UU Cipta Kerja yang menghebohkan dan menimbulkan gelombang aksi unjuk rasa di berbagai penjuru tanah air.
Tak sedikit, kalau kita membaca di media massa, pihak yang meminta agar hakim yang nenerima bintang tersebut mengembalikannya kepada pemerintah, agar independensi MK tetap terjaga.
UU Cipta Kerja itu sendiri di mata pemerintah akan menjadi upaya terobosan yang sangat berarti untuk mengundang masuknya investor asing. Regulasi yang sebelumnya tumpang tindih, dipangkas dan disederhanakan dengan UU tersebut.