Peran perbankan dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional, merupakan hal yang tak dapat disangkal, karena menjadi salah satu faktor penentu. Laju pertumbuhan kredit yang dikucurkan bank kepada berbagai sektor usaha, ibarat pelumas bagi perputaran roda ekonomi.
Perusahaan atau individu penerima kredit akan menggunakan dana yang dipinjamnya dari perbankan untuk mengembangkan usahanya. Mereka yang bedagang akan menggunakan pinjaman bank untuk menambah stok barang. Mereka yang punya pabrik menggunakannya untuk perluasan pabrik dan meningkatkan produksi.
Selain kredit yang bersifat produktif, bank juga memberikan kredit konsumtif. Jelas, hal ini akan meningkatkan daya beli masyarakat, meskipun setelah itu harus mencicil pengembalian kredit. Dengan kredit konsumtif, penjualan rumah, kendaraan bermotor, atau produk lainnya, akan meningkat. Pada gilirannya ini juga berdampak positif bagi perekonomian nasional.
Pemberian kredit yang sehat membuat pihak bank dan juga pihak nasabah sama-sama beruntung atau disebut juga dengan win-win solution. Berbeda halnya dengan tukang kredit informal yang mengutangi mereka yang kepepet dengan bunga yang sangat mencekik.
Keuntungan bagi nasabah sudah disinggung di atas, baik untuk kegiatan yang bersifat produktif, maupun konsumtif. Di lain pihak, bank juga menuai keuntungan dari pengembalian kredit karena disertai dengan pembayaran bunga oleh nasabah kepada bank.Â
Masalahnya, gamabaran ideal di atas hanya berlaku pada masa normal. Adapun saat ini karena negara kita tengah dilanda bencana pandemi Covid-19, yang terjadi adalah sesuatu yang di luar dugaan. Kewajiban agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan antara lain dengan penerapan social distancing, telah berdampak negatif pada perekonomian, sehingga sekarang kita telah memasuki masa resesi.
Maka, hampir semua sektor ekonomi sudah terkena dampak pandemi, tidak terkecuali perbankan. Kinerja bank-bank di negara kita secara umum anjlok tajam. Ini tidak mengherankan, karena bank boleh dikatakan berkaitan erat dengan semua sektor ekonomi. Bank mengucurkan dana tidak hanya untuk perdagangan, tapi juga industri, pertanian, pertambangan, usaha transportasi, jasa di bidang pariwisata, dan sebagainya.
Jangankan untuk mencicil pengembalian kredit kepada pihak perbankan, untuk sekadar menutupi biaya operasional sehari-hari saja, banyak perusahaan yang sudah tidak mampu. Akhirnya, jutaan pekerja menjadi pengangguran karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Nah, dengan macetnya pengembalian kredit dari para nasabah, wajar bila kemudian kinerja perbankan mengalami penurunan yang signifikan. Ambil contoh seperti yang diberitakan Kompas, Jumat (20/11/2020), yang menyatakan laba bersih perbankan nasional yang berjumlah 110 bank anjlok 22 persen secara tahunan. Pada tahun-tahun sebelumnya, laba bersih perbankan selalu tumbuh.
Bila dilihat data beberapa bank papan atas pada triwulan III-2020 lalu, laba bersih Bank Rakyat Indonesia (BRI) anjlok 43 persen, laba bersih Bank Mandiri turun 30,73 persen, dan laba bersih Bank Negara Indonesia (BNI) bahkan merosot sangat dalam hingga 63,9 persen. Hanya Bank Central Asia (BCA) yang penurunan laba bersihnya relatif kecil, yakni 4,2 persen.
Perlu diketahui, 4 bank di atas adalah the big four di tanah air dilihat dari sisi kepemilikan aset yang kontribusinya pada perputaran ekonomi nasional sangat dominan. Masing-masing bank tersebut mempunyai nasabah yang sangat banyak dan tersebar di semua penjuru, karena mempunyai jaringan kantor di mana-mana.