Hari ini, Selasa, 10 November 2020, kita kembali memperingati Hari Pahlawan. Dulu, pahlawan identik dengan keberanian mengangkat senjata, meskipun hanya berupa bambu runcing, untuk mengusir penjajah dari bumi nusantara ini. Atau mereka yang berjuang melalui pergerakan politik, meskipun dengan risiko ditangkap penguasa kolonial.
Namun demikian, kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, tapi hanya sebagai jembatan emas menuju terbentuknya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Maka, pahlawan yang diperlukan adalah "pahlawan pembangunan", yang dari otak dan tangannya lahir berbagai karya yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.Â
Jadi, dari era jadul hingga hari ini, tentu kita sudah punya demikian banyak pahlawan, meskipun juga tak sedikit yang memilih menjadi parasit, seperti yang dilakukan para koruptor yang menggerogoti uang rakyat. Atau mereka yang berkolusi dengan para cukong mengeruk kekayaaan alam yang melimpah di negara kita, demi keuntungan segelintir orang.
Pahlawan tidak hanya nama-nama besar yang tercatat dengan tinta emas dalam buku sejarah. Pahlawan juga bukan hanya sosok yang diundang ke istana negara untuk menerima anugerah bintang mahaputera atau apapun namanya.Â
Pahlawan juga bukan hanya tokoh-tokoh yang namanya diabadikan sebagai nama jalan, nama bandara, nama universitas, nama rumah sakit, dan nama berbagai tempat lainnya, sebagai penghormatan atas jasa-jasanya. Juga bukan hanya figur yang telah dibuatkan patung atau tugunya di titik-titik yang strategis.
Mereka yang menjadi penyapu jalanan sehabis aksi demo yang rusuh dengan aneka sampah yang berserakan, mereka yang mengumpulkan anak-anak kaum marjinal di kolong jembatan untuk diajarkan calistung (membaca, menulis, dan berhitung), mereka yang menanam pohon sedikit demi sedikit untuk menahan laju abrasi atau untuk mencegah penggundulan hutan, pada dasarnya juga pahlawan.
Berat? Memang jadi pahlawan itu berat. Apalagi bagi mereka yang sudah berniat untuk pamer kepahlawanan, ingin disorot kamera jurnalis dan ditayangkan di layar kaca, rasanya makin berat saja mengejar gelar pahlawan, karena ada pamrihnya. Apalagi demi pencitraan agar terpilih menjadi kepala daerah atau jadi wakil rakyat.
Begini saja, tidak usahlah kita berpretensi jadi pahlawan. Sederhana saja, dalam kondisi negara kita yang masih dilanda pandemi Covid-19 yang sekaligus juga menghadapi resesi ekonomi ini, bila setiap orang bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik, itu sudah bagus.Â
Bagi mereka yang juga berstatus kepala keluarga, mampu bertanggung jawab mengurus semua anggota keluarganya, itu juga sudah sangat bagus. Mereka pantas disebut sebagai pahlawan keluarga.Â
Para pahlawan keluarga bila dikumpulkan, secara akumulatif akan menghasilkan bangsa yang tangguh, mampu mencegah pandemi dan mampu mandiri secara ekonomi, sehingga secara implisit mereka juga pahlawan bangsa.
Betapa tidak, ketika jutaan orang terkena PHK, ratusan ribu orang terpapar Covid-19, maka beban bangsa ini demikian besar. Pemerintah tak kan sanggup memikul sendiri tanpa dukungan masyarakat luas.Â
Bantuan sosial boleh saja digelontorkan, tapi semangat berkerja setiap orang tetap perlu dikobarkan. Apapaun yang layak dilakukan, lakukanlah, sepanjang caranya halal dan tidak dilarang oleh ketentuan yang berlaku.
Jangan ada lagi gengsi dengan menghindari pekerjaan tertentu yang dinilai kasar. Bagi yang masih punya kemampuan, tolong dulu sanak familinya yang kurang mampu, tetangga terdekatnya, dan berlanjut kepada anggota masyarakat tidak mampu lainnya. Peduli dan berbagi, nilainya sungguh sangat berarti.
Tapi, sebelum peduli kepada orang lain, harus peduli dulu dengan diri sendiri, dengan penuh disiplin menjalankan protokol kesehatan, sehingga tidak menulari orang lain.Â
Apalagi sekarang muncul kluster baru dalam penularan Covid-19, yakni kluster keluarga. Banyak yang patuh pada protokol kesehatan saat di luar rumah, tapi di dalam rumah abai karena merasa anggota keluarga tidak mungkin saling menulari.
Selanjutnnya, sekarang banyak pula anggota keluarga yang tidak saja bermasalah dengan ketahanan pangan, tapi juga dengan ketahanan mental. Ada yang lari ke narkoba, ada yang melakukan tindak pidana, ada yang melakukan kekerasan seksual. Semuanya berdalih karena lagi tertekan oleh kondisi pembatasan sosial atau yang berkaitan dengan itu.
Nah, kenapa kita tidak memulai menjadi pahlawan bagi diri sendiri dan keluarga kita sendiri? Cukup dengan menjaga diri sendiri dan keluarga kita bisa berjalan normal tanpa ada kasus yang aneh-aneh sebagai contoh pelampiasan yang salah di atas, sudah berarti banyak.
Bayangkan, bila semuanya melakukan hal yang sama sebagai sebuah gerakan, maka semua kita adalah pahlawan. Jadi pahlawan tidak lagi berat dan bangsa Indonesia jadi selamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H