Sepanjang 75 tahun sejarah RI, partai Islam belum sekalipun tampil sebagai pemenang pemilu. Bahwa Gus Dur pernah jadi presiden, itu fakta sejarah. Tapi, ketika itu partai terbesar adalah PDI Perjuangan, bukan PKB yang menjadi partainya Gus Dur.
Pada zaman Orde Lama, partai Islam yang paling kuat adalah Partai Masyumi. Partai ini menduduki peringkat kedua pada Pemilu 1955 dengan perolehan suara sebanyak 20,92 persen, di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mengumpulkan suara 22,32 persen.
Sayangnya, pada tahun 1960, patai ini dilarang oleh Presiden Soekarno karena diduga mendukung Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang merupakan gerakan di beberapa daerah untuk menentang pemerintah pusat yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958.
Sekarang, sebagian orang yang sudah berusia tua mungkin masih ingin romantisme nostalgia Partai Masyumi terulang kembali. Meskipun saat Pemilu 1955 mereka berkemungkinan besar masih jadi anak kecil yang belum punya hak pilih.
Partai Bulan Bintang (PBB) pernah mengklaim sebagai reinkarnasi dari Partai Masyumi. Tapi partai ini sekarang tidak lolos parlementary threshold. Nah, baru-baru ini tersiar kabar Partai Masyumi akan dilahirkan kembali, yang antara lain dapat dibaca di republika.co.id (17/11/2020).
Bila dicermati, potensi partai Islam sebetulnya lumayan besar mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Tapi, sungguh ironis, faktanya, seperti yang disinggung  di atas, partai Islam belum sekalipun menang pemilu secara nasional.Â
Memang, bila berkaca pada hasil pemilu terakhir tahun 2019 lalu, bila semua partai Islam digabung suaranya, maka terkumpul sekitar 29-30 persen suara, jauh di atas raihan PDIP sebagai partai pemenenag yang hanya 19,33 persen. Masalahnya, banyak pengamat yang berpendapat, kelemahan politik Islam di Indonesia adalah karena tidak bisa bersatu.
Perolehan yang 29-30 persen di atas adalah dengan definisi partai Islam yang telah diperluas, baik yang lebih "kental" seperti PKS, PPP dan PBB, maupun yang relatif cair seperti PAN dan PKB yang mengklaim sebagai partai terbuka.
Bukannya partai Islam tak pernah bersatu. Tapi itu terjadi saat Orde Baru, di mana semua partai Islam "dipaksa" bersatu dalam partai yang dinamakan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketika itu Presiden Soeharto menginginkan jumlah partai yang sedikit. Maka hanya ada dua partai, PPP mewakili politik Islam dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai wadah bagi kalangan nasionalis, termasuk non muslim.
Soeharto sendiri aspirasinya disalurkan oleh Golongan Karya (Golkar) yang disebutkan bukan sebagai partai, hanya semacam ormas, tapi diperkenankan ikut pemilu, bahkan selalu tampil sebagai pemenang. Ya, kemenangan Golkar memang tidak mengherankan, karena konon sudah diskenariokan.
Sekarang, dinamika partai Islam bergairah lagi, dengan segera akan munculnya Partai Masyumi. Â Selain itu, ada juga Partai Ummat yang dibentuk oleh Amien Rais setelah Amien tergusur dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Lalu media massa juga diramaikan berita kiprah Habib Rizieq Shihab (HRS) setelah kembali berada di tanah air. HRS digadang-gadang menjadi calon kuat untuk maju pada pilpres 2024 mendatang. Namun, sejauh ini tidak jelas HRS akan menggunakan partai mana sebagai kendaraan politiknya, mengingat organisasi yang dipimpinnya, Front Pembela Islam (FPI), bukanlah partai politik.
Selain semakin bergairahnya partai Islam dan juga individu tertentu seperti HRS, harus diakui pula, kesadaran masyarakat muslim di tanah air dalam mendalami agama juga semakin meningkat. Sebagian di antaranya berprinsip seolah-olah wajib untuk memilih partai Islam.
Masalahnya, dengan demikian banyaknya partai Islam, bukan hal yang gampang untuk memilih mana yang paling Islami. Boleh jadi menurut warga Nahdlatul Ulama (NU), PKB-lah yang paling Islami, namun tidak begitu menurut warga Muhammadiyah.
Maka, pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini bukan hal yang sulit untuk dijawab. Kenapa partai Islam belum pernah menang? Ya, karena partai Islamnya banyak. Coba kalau semuanya bersatu, tidak terlalu sulit untuk menjadi partai terbesar di Indonesia. Â Sayangnya itu seperti mustahil terjadi, kecuali ada keajaiban. Too good to be true.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H