Seorang teman saya yang punya dua orang anak yang berprofesi sebagai dokter, membuka sebuah klinik kesehatan di pinggiran kota, sebuah ibu kota provinsi di Pulau Sumatera. Â Telah 5 tahun berlalu, saya tak menyangka kalau kliniknya mengalami kemajuan yang pesat.
Memang, perluasan kota mengarah ke kawasan dimana klinik itu berada. Karena di sana banyak komplek perumahan, maka penduduknya lumayan banyak. Tapi, bukan gara-gara itu klinik teman saya maju pesat. Saya kira, pelayanannya yang baik, menggratiskan pasien tidak mampu, serta informasinya di media sosial yang gencar, jadi faktor pembeda dengan beberapa klinik lain di sekitar itu yang tetap sepi.
Seperti apa kemajuannya? Berawal dari menyewa satu petak ruko dua lantai, sekarang sudah melayani pasiennya di tiga petak ruko yang saling tersambung, masing-masing dua lantai. Fasilitasnya juga lumayan lengkap, lebih dari sekadar klinik, sudah mirip rumah sakit mini.Â
Sekarang di sana sudah ada apotek, fasilitas pemeriksaan lab sederhana, ada poli gigi, poli dokter umum, poli dokter spesialis, pemeriksaan ibu hamil, menerima pasien yang mau melahirkan, menerima pasien laki-laki yang mau disunat (khitan), serta punya beberapa kamar untuk rawat inap.
Iseng-iseng saya tanya kepada teman ini, yang sekarang berstatus sebagai direktur di klinik tersebut, berapa ia menggaji belasan orang pegawainya? Ia menyebut sebuah jumlah, yang menurut saya masih di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Lalu ia buka-bukaan menceritakan kondisi keuangan kliniknya, termasuk utangnya ke bank agar ia bisa membeli 3 petak ruko tersebut.
Hebatnya, setelah saya beberapa kali berkunjung ke klinik teman saya itu, para pegawainya selalu terlihat gembira. Banyak yang betah sudah di sana selama 5 tahun, meskipun ada beberapa orang yang keluar, baik karena kemauan si pegawai, maupun karena dikeluarkan teman saya karena melakukan kesalahan, termasuk karena tidak jujur.
Menurut teman saya, ia sudah terbuka kepada para pegawainya soal kemampuan perusahaan. Kalau gaji setara UMP, klinik belum mampu. Tapi, para pegawai diberikan beberapa stel pakaian seragam untuk bekerja. Setiap Jumat pagi dan Minggu pagi, semua personil di sana melakukan senam bersama dipimpin seorang instruktur senam, setelah itu minum susu, makan bubur kacang hijau, atau yang sejenis itu.
Saya rasa, meskipun menerima upah tidak sebesar UMP, ada kebanggaan bagi pegawai klinik. Harus diakui, sekarang ini, bahkan sejak sebelum pandemi Covid-19, mempunyai pekerjaan tetap adalah sebuah "kemewahan" tersendiri bagi banyak orang. Soalnya, bila menyandang status pengangguran, sangat tidak nyaman dan memukul mental seseorang yang bisa berbuntut pada kesehatannya.
Apalagi kalau yang menganggur tersebut punya gelar kesarjanaan dan telah menganggur bertahun-tahun. Makanya, seiring dengan pengumuman pemerintah pusat bahwa UMP tahun depan tidak naik, para pekerja diharapkan mampu mencerna informasi ini secara logis, bukan dengan cara emosional.
Jika dibaca di sejumlah media massa, sebetulnya di beberapa provinsi telah menetapkan sedikit kenaikan untuk UMP 2021. Tapi anggaplah pahit-pahitnya memang tidak naik sama sekali. Hal ini tetap tidak menurunkan tingkat kesejahteran pekerja, jika harga bahan pokok, tarif transportasi publik, dan harga kebutuhan sehari-hari lainnya, juga tidak naik.
Maka, menjadi tugas pemerintah dan pengurus asosiasi pengusaha, agar mampu menciptakan kestabilan harga. Apa gunanya UMP naik, tapi harga-harga naik lebih tajam lagi. Apa gunanya UMP naik, bila semakin banyak perusahaan yang bangkrut dan ujung-ujungnya terjadi PHK massal. Bukankah pandemi masih berlangsung dan perusahaan yang tidak terdampak, sangat sedikit.
Kembali ke klinik teman saya, saya kira ada banyak sekali jenis usaha yang belum mampu membayar para pekerjanya setara UMP. Sepanjang itu bukan "pemerasan" karena si pemilik sebetulnya mampu, para pekerja akan bisa memahami.
Lihatlah kios-kios kecil di pusat perbelanjaan. Ada yang menjual gawai, pakaian, parfum, kacamata (ini yang saya ingat di ITC Mangga Dua, Jakarta Utara, yang relatif sering saya kunjungi). Rata-rata di semua kios punya 2-3 orang pegawai. Dan sesuai hasil wawancara iseng-iseng saya pada suatu waktu, ternyata mereka menerima upah di bawah UMP. Tapi, mereka terlihat gembira dan bersyukur.Â
Tentu saja bagi para pekerja yang ingin menyampaikan aspirasinya merespon UMP 2021, baik melalui aksi unjuk rasa, maupun melalui cara lain yang diperbolehkan sesuai ketentuan hukum, tetap harus dihargai. Sepanjang terjadi keterbukaan antara pihak manajemen perusahaan dan para pekerjanya, seharusnya akan gampang tercapai kesepakatan.Â
Tapi, apapun hasil negosiasinya, bersyukur itu wajib, kata penceramah agama. Sesungguhnya, Allah akan menambahkan nikmat-Nya bagi mereka yang senantiasa bersyukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H