Dalam bahasa Minang, surga disebut dengan sarugo. Tapi, sarugo dalam tulisan ini merupakan akronim dari "Saribu Gonjong" atau seribu gonjong. Gonjong sendiri adalah corak rumah adat Minang yang disebut juga "rumah gadang" dengan atap yang khas, mirip tanduk kerbau.
Nah, Kampung Sarugo adalah nama yang disematkan untuk sebuah kawasan yang masih memiliki banyak rumah gadang, sesuatu yang mulai langka di Sumatera Barat. Kampung ini terletak di Jorong Sungai Dadok, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Mas, Kabupaten 50 Kota, atau sekitar 48 km sebelah utara kota Payakumbuh.
Dalam tatanan masyarakat adat Minang, "jorong" adalah setingkat desa, sedangkan "nagari" merupakan kumpulan dari beberapa jorong, namun tingkatannya masih lebih rendah dari kecamatan.
Karena keunikannya tersebut, Kampung Sarugo diberi label "Kampung Wisata Adat", di mana para pengunjung tidak sekadar menikamti pemandangan rumah adat saja. Melainkan, jika kedatangan pengunjung terorganisir dalam sebuah paket wisata, akan menikmati kuliner tradisional dengan terlebih dahulu diajak menangkap belut di sawah.Â
Belut tersebut nantinya dimasak untuk disantap bersama. Pengunjung dipersilakan ikut memasak bersama juru masak setempat. Setelah kenyang, pengunjung dihibur oleh pertunjukan kesenian tradisional seperti alunan saluang (seruling khas Minang) mengiringi suara penyanyi yang mendayu-dayu.Â
Bahkan, bila beruntung, ada juga pertunjukan "randai", sebuah permainan tradisional Minang yang dimainkan secara berkelompok dalam sebuah lingkaran. Randai banyak mengambil gerakan silat yang indah yang dirangkai dalam sebuah drama dengan iringan musik tradisional.
Nagari tersebut juga dekat dengan desa kelahiran Tan Malaka, seorang pejuang besar asal Sumbar, yang banyak menuangkan pemikiran yang revolusioner di zaman kolonial Belanda. Jadi, berkunjung ke Koto Tinggi, selain menikmati alam dan budaya, juga memperluas wawasan sejarah.
Kampung Sarugo merupakan contoh transformasi sebuah desa, yang tidak lagi semata-mata mengandalkan pertanian, tapi juga pariwisata. Â Hal ini terwujud setelah masyarakat menyadari bahwa kampungnya punya potensi yang sayang bila tidak dinikmati banyak orang. Awalnya pengelola Kampung Sarugo merasa pesimis, karena jaraknya yang jauh dari Payakumbuh, tidak dilewati jalan utama yang menghubungkan dua kota kabupaten.
Memang, faktor jarak menjadi kendala bagi pengunjung. Beberapa kilometer sebelum lokasi, jalannya mengecil, menanjak, serta ada jurang di salah satu sisinya. Perlu kemahiran tersendiri bagi pengemudi mobil pribadi yang baru pertama kali ke sana.
Kemudian, kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini, membuat semakin sulit menjaring pengunjung dari luar provinsi yang datang ke Sumbar melalui pesawat, termasuk juga turis asing dari Malaysia dan Singapura yang dulu lumayan banyak berwisata ke Sumbar.
Kampung Sarugo sendiri baru diresmikan sebagai destinasi wisata pada 2019 lalu dan sekaligus mewakili Sumbar sebagai nominasi kategori Kampung Adat Terpopuler Anugerah Pesona Indonesia 2020. Ada 32 rumah gadang di kampung ini yang dikepung perbukitan dengan usia sekitar 100 tahun (medcom.id, 19/9/2020).
Kiranya pengelola Kampung Sarugo bisa memanfaatkan media sosial, meskipun masih dalam kondisi pandemi. Tentu bagi pengunjung yang datang, kewajiban mematuhi pr0tokol kesehatan, menjadi sesuatu yang tak bisa ditrawar-tawar.
Mudah-mudahan dengan adanya vaksin gratis yang akan dibagikan kepada masyarakat mulai tahun depan, pembatasan sosial tidak lagi seketat sekarang dan bisnis pariwisata menggeliat lagi. Hal ini harus diantisipasi oleh pengelola Kampung Sarugo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H