Bertukar peran dalam rumah tangga? Saya mau-mau saja, tapi saya kalah telak ketimbang istri saya. Begini, istri saya lumayan banyak kemampuannya dalam mengerjakan pekerjaan yang masuk wilayah laki-laki, sedangkan saya sangat terbatas kemampuannya menggantikan peran istri.
Tentu saja, yang disebut dengan peran istri dan peran suami, mengacu pada pandangan yang turun temurun, bahwa (selain mencari nafkah) pekerjaan yang berat secara fisik adalah wilayah suami dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga  menjadi domain istri. Namun, sekarang pola pembagian pekerjaan seperti itu, menurut saya sudah tidak relevan.
Tapi baiklah, anggap saja pandangan tradisioanl itu betul. Hanya saja, bertukar peran, meskipun saya dalam posisi kalah telak, telah lama kami lakukan. Soalnya, sudah 5 tahun terakhir  kami sengaja tidak lagi menggunakan jasa asisten rumah tangga (ART).
Tidak saja karena kami beberapa kali kehilangan uang yang kami duga diambil ART (bahkan suatu kali memang terbukti dan diakuinya), tapi juga berbagai ulah lain yang membuat kami kesal.  Hanya di awal kami berumah tangga, kami punya ART yang cocok secara chemistry, sehingga bisa bertahan selama sekitar 5 tahun.
Setelah itu kami terpaksa gonta ganti ART. Ada yang tidak cocok karena ART-nya sering didatangi pacarnya, ada yang kerjanya asal-asalan sehingga terpaksa diulangi oleh istri saya. Tapi pergantian ART lebih banyak karena mereka tidak kembali setelah mudik lebaran. Padahal, kami telah memberi uang bulanan di atas rata-rata yang diterima ART pada umumnya. Juga bonus dan ongkos transportasi untuk kembali ke Jakarta.
O ya, untungnya ketika kami sudah tidak menggunakan ART, 3 orang anak kami sudah besar. Anak terkecil sudah duduk di bangku SMA. Masalahnya, saya dan istri termasuk gagal dalam mendidik anak agar mereka disiplin dalam mengerjakan tugas rumah tangga. Paling tidak, kami berharap masing-masing anak bisa mengurus kamar mereka dan juga mengurus pakaian serta perlengkapan sekolahnya.
Kenyataannya, kamar anak-anak lebih sering berantakan. Saya dan istri juga sama-sama bekerja, sehingga kondisi rumah jadi mirip kapal pecah. Tapi, ya, kami nikmati saja. Tanpa ART rasanya kami jadi lebih bebas, meski rumah berantakan.
Alhasil, pada hari libur, istri saya sibuk bekerja ekstra keras merapikan kapal pecah itu. Dalam hal ini, peran saya memang sangat minim. Hanya sesekali saya menyapu dan membersihkan debu. Mengepel lantai, jujur, sulit saya lakukan, malah jadi makin berantakan.
Berpindah ke area dapur, lagi-lagi saya kalah telak, karena hanya memasak air yang bisa saya lakukan dengan baik. Kami sehari-hari memakai air tanah di rumah sendiri menggunakan pompa air dan ditampung dalam tanki air besar. Rasanya lebih pas di lidah ketimbang air dalam kemasan galon yang menggunakan dispenser. Tapi kami menyetok air dalam kemasan, terutama untuk tamu yang datang.
Mencuci piring menurut saya bukan pekerjaan ringan. Saya sebetulnya bisa melakukannya, tapi lebih sarang malas. Untungnya sering dibantu anak-anak, tidak saja si bungsu yang cewek, tapi juga si sulung yang cowok.
Satu hal yang saya sukai, anak saya yang tengah, seorang cowok, pintar memasak. Ketika istri saya tidak punya waktu memasak, ia berinisiatif menggoreng telur atau chicken nugget, bahkan ia bisa menggoreng irisan kol yang dilumuri tepung. Nasi goreng buatannya pun lumayan enak.
Hidung saya lebih sensitif membaui gas bila ada sesuatu yang salah dengan kompor gas. Istri saya sendiri tidak begitu sensitif hidungnya. Tapi urusan mencabut dan memasang selang gas, saya menyerah, istri saya lebih jago.
Berikutnya, pindah ke urusan mencuci pakaian, menjemur, dan menyetrika. Tak semua pakaian dicuci dengan mesin cuci. Pakaian batik dicuci istri saya dengan tangan. Menggunakan mesin cuci, meskipun sekadar memencet tombol, saya jarang melakukannya.
Namun, dalam menyetrika pakaian, terutama pakaian saya sendiri, sering saya lakukan di hari-hari tertentu. Yang bikin saya kesal, anak-anak kurang perhatian terhadap pakaian mereka sendiri. Pakaian yang sudah kering ditumpuk begitu saja, yang akhirnya terpaksa istri menyediakan waktu khusus untuk melipatnya.
Kemudian beranjak ke pekerjaan yang bersifat insidentil, yang seharusnya menjadi area laki-laki, seperti mengganti bohlam pakai stager (tangga), mengganti kran air yang rusak, dan hal lain yang memerlukan obeng, selotip, martil, paku, dan sebagainya. Sayangnya, saya malu mengakui, dalam hal ini pun, istri saya lebih lincah.Â
Ada adegan yang memilukan yang tadinya tidak akan saya tuliskan, tapi biarlah, jujur itu terkadang pahit. Adegan itu ialah, saya hanya kebagian peran memegang kaki stager, sementara istri saya dengan cekatan naik ke atasnya.
Bila istri saya tak lagi mampu mengatasi masalah "laki-laki" tadi, baru saya akan mencari tukang. Tapi kalau masalah insidentil yang bersifat "perempuan" sepeti mengganti kancing baju saya yang terlepas, akan beres sama istri saya.
Saya sendiri menjunjung tinggi kesetaraan pria-wanita. Saya memang bukan tipe suami yang ingin dilayani, di mana bila mau makan, piring, sendok, termasuk memasukkan nasi ke piring dilakukan istri. Bukan, semuanya saya lebih suka melakukannya sendiri. Saya juga bukan yang tahu beres di mana baju, singlet, celana dalam dan handuk pun disiapkan. Kalau itu kan saya punya selera sendiri, baju apa yang saya mau pakai.
Dalam hal berbelanja ke supermarket, saya sering menemani istri, tapi kalau ke pasar tradisional istri lebih suka sendiri. Bila istri berbelanja pakaian ke Tanah Abang, saya kapok, bisa memakan waktu setengah hari. Untung istri saya juga senangnya tidak ditemani.
Tentu semua orang punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Istri saya bukan tipe komunikator yang baik. Ia jarang berbasa-basi. Nah, ini jadi bagian saya. Bila ada Pak RT datang, petugas kebersihan, petugas keamanan, petugas sensus, dan sebagainya, saya yang akan menghadapi.
Bahkan, untuk ke dokter saja, saya harus mendampingi, dan justru saya yang menceritakan apa keluhan si istri. Kalau saya yang ke dokter, tak perlu ditemani istri.
Namun, bila yang datang tamu tak diundang yang perlu sedikit "digertak", itu bagian istri. Dulu, ketika kami masih menggunakan pengemudi pribadi, bila ada keluhan yang berbuntut meminjam uang, si pengemudi selalu ngomong ke saya. Tapi bila ia ngelunjak dan perlu sedikit direspon dengan keras, itu jadi tugas istri. Saya memang lebih tidak tega, bahkan juga ada yang memalukan, saya lebih gampang meneteskan air mata ketimbang istri.Â
Kesimpulannya, dalam bertukar peran, saya merasa kalah telak. Untungnya, dalam urusan mencari nafkah, saya alhamdulillah masih menjadi pemain utama, sehingga muka saya masih terselamatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H