Apakah di antara pembaca tulisan ini, ada yang tahu di mana letak kota Pasir Pengaraian? Boleh jadi kota tersebut bukan nama yang asing bagi warga Riau, karena merupakan ibu kota kabupaten Rokan Hulu, yang merupakan hasil pemekaran Kabupaten Kampar, Riau.Â
Namun, secara nasional, kota Pasir Pengaraian bisa dikatakan kurang dikenal. Apalagi letaknya lumayan jauh dari Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau, sekitar 170 km atau membutuhkan waktu 4 hingga 5 jam untuk menempuhnya melalui jalan darat. Lagipula, kota kecil ini  bukan terletak di jalur utama yang menghubungkan dua ibu kota provinsi, seperti jalur Pekanbaru-Padang atau Pekanbaru-Medan.
Bagi saya sendiri, karena lahir dan menjalani masa kecil hingga remaja di kota Payakumbuh, Sumbar, nama Pasir Pengaraian sesekali pernah saya dengar, karena banyak juga pedangang asal Sumbar yang mencari nafkah di sana.
Memang agak ironis bila sampai sekarang kota tersebut masih belum begitu dikenal. Soalnya, di sana ada masjid terbaik se-nasional. Bahkan, beberapa media menjulukinya sebagai masjid termegah se-Asia Tenggara. Masjid dimaksud bernama Masjid Agung Madani Islamic Center (MAMIC).
Baik, mungkin bila disebut termegah se-Asia Tenggara, belum jelas alat ukurnya, mengingat  ada masjid di Brunei dan juga di Malaysia yang tak kalah megah. Tapi, kalau predikat terbaik se-Indonesia, memang betul. Hal itu berdasarkan penilaian Kementerian Agama, sehingga dinobatkan sebagai Masjid Agung Percontohan Paripurna Terbaik se-Indonesia pada 2015.
Penasaran karena ingin melihat bagaimana sosok masjid terbaik itu, saya akhirnya menginjakkan kaki di kota Pasir Pengaraian pada akhir 2017 lalu. Dan saya memang menemukan masjid besar yang megah. Wisatawan lokal dari berbagai daerah sekitar berdatangan, karena saya ke sana pada hari libur.
MAMIC tidak saja sekadar masjid tempat ibadah, tapi juga menaranya bisa dinaiki wisatawan untuk melihat pemandangan dari ketinggian 99 meter. Di bagian basement-nya yang luas terdapat banyak unit kegiatan ekonomi, seperti pasar swalayan, toko souvenir, gerai pakaian, restoran, coffe shop, studio foto, dan sebagainya.
Sayangnya, kebersihan jadi masalah yang tidak ringan untuk masjid besar dengan pengunjung yang ramai tapi tidak tertib. Banyak yang makan secara lesehan di koridor masjid. O ya, selengkapnya saya pernah menuliskan hal tersebut di sini.
Sekarang kita tinggalkan kota Pasir Pengaraian. Berikutnya, ada yang tahu sebuah kota kecil bernama Lasusua? Ini juga ibu kota kabupaten hasil pemekaran yang terletak di Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Kolaka Utara.
Saya semakin penasaran. Saya temukan lagi ada kota bernama Sukamara di Kalimantan Tengah. Jujur, nama kota ini baru pertama kali saya dengar, dan tampaknya juga ibu kota kabupaten hasil pemekaran. Sebelumnya termasuk dalam wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat.
Hanya saja, jika niatnya sekadar kebanggaan daerah, dibangun sebagai proyek mercusuar yang jor-joran demi citra bupati, padahal di lain pihak masih banyak warga miskin di daerah tersebut, maka perlu dipertanyakan lagi.Â
Tentu bagi yang sudah terlanjur, diharapkan pengurus masjid punya strategi agar masjid bisa diramaikan secara konsisten, bukan saat peresmian atau saat hari raya saja.Â
Karena kota di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi sudah saya tampilkan, saya ingin tambahkan masjid bagus di kota kabupaten di Pulau Jawa. Kota ini karena dekat Solo, lumayan terkenal, yakni Klaten dengan Masjid Agung Al Aqsha-nya.
Poin yang saya sampaikan adalah, kemegahan fisik yang kurang terpelihara dan kurang terdayagunakan, cenderung menjadi mubazir. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah dan masyarakat setempat yang dilanda euforia harus punya masjid yang megah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H