Saat kuliah di awal dekade 1980-an, saya lumayan aktif menulis di koran lokal, Haluan, yang terbit di Padang, Sumbar. Berikutnya, setelah hijrah menjadi warga ibu kota, di sela-sela kesibukan sebagai staf baru di sebuah BUMN, tulisan saya masih nongol sesekali di media cetak nasional, termasuk di media paling bergengsi, Kompas.
Tapi seiring dengan naiknya jabatan di kantor, sejak 1996, terhenti pula aktivitas saya dalam tulis menulis. 17 tahun kemudian, seorang adik saya beberapa kali mengirimkan link tulisannya di Kompasiana melalui grup percakapan di media sosial. Saya ditantang oleh sang adik untuk membuka akun di Kompasiana dan aktif lagi menulis.
Begitulah, pada 27 November 2013 saya mulai bergabung di Kompasiana, artinya sudah hampir 7 tahun hingga sekarang. Tak ada rasa jenuh, bahkan semakin jatuh cinta. Seperti yang saya tulis pada profil saya, "menulis untuk menikmati kehidupan", memang itulah yang saya rasakan.
Bagi saya pribadi, banyak keuntungan yang telah saya petik. Popularitas dan k-reward, bukan menjadi hal utama, meskipun tak dapat disangkal, itu juga termasuk keuntungan. Kepuasan batin karena membuat saya selalu belajar serta membagikannya, lalu berinteraksi dengan sesama kompasianer, itulah yang membuat saya kecanduan menulis.
Ada banyak sekali kompasianer yang tulisan-tulisannya selalu saya tunggu. Saya sengaja tidak menuliskan nama tertentu, karena saking banyaknya. Itulah keuntungan lain bagi saya dalam berkompasiana. Tidak sekadar menulis, namun juga mendapat manfaat dan inspirasi dari banyak tulisan kompasianer.
Saya tak ingin mengelaborasi lagi soal keuntungan menulis, karena kali ini saya lebih fokus mengangkat dampak negatif dari tulisan saya. Begini, konon katanya, penulis yang memilih bidang tertentu sebagai spesialisasinya, akan lebih berhasil. Saya sepenuhnya setuju.
Namun, karena saya menulis untuk menikmati kehidupan, alias hanya untuk hepi-hepi, maka apa yang terlintas di pikiran saya, akan menjadi bahan tulisan. Boleh dikatakan saya jarang mencari ide. Yang ada malah saya kewalahan menampung ide, karena begitu banyak yang berkelabat di kepala saya. Bisa dari kehidupan saya sehari-hari, pengalaman teman, atau dari yang saya baca dan tonton.
Sebagai orang yang lama berkarier di divisi akuntansi sebuah BUMN, tentu saya mengetahui laporan keuangan perusahaan tempat saya bekerja dan juga laporan keuangan peruahaan pesaing yang saya lacak dari berbagai sumber.Â
Maka, tak terelakkan lagi, adakalanya tulisan saya berkitan dengan kinerja sektor tertentu (perusahaan tempat saya bekerja adalah bagian dari itu), dibaca sebagai kritik oleh bos saya, bahkan sekaligus juga dianggap memuji perusahaan pesaing.
Seingat saya ada dua kali saya dipanggil ke ruangan bos dan diceramahi tentang apa yang beliau lakukan. Pada intinya saya diminta untuk tidak menuliskan hal yang beraroma negatif, meskipun itu fakta, tapi harus dibungkus sehingga terlihat oleh masyarakat menjadi lebih baik.
Kemudian ada sekali lagi yang saya tidak dipanggil, tapi teman-teman saya sudah heboh mengatakan bahwa bos marah-marah membaca tulisan saya. Padahal tulisan yang mengangkat topik ketidakserasian hubungan antar direksi dan komisaris itu telah saya samarkan nama perusahaannya dan tujuan saya semata-mata sebagai masukan bagi Kementerian BUMN, di samping berbagi pengetahuan bagi pembaca yang tertarik.