Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Anak yang Tak akan Pernah Dewasa

18 Oktober 2020   07:55 Diperbarui: 18 Oktober 2020   09:49 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang artis, saya lupa namanya, pernah mengatakan dengan bangga, bahwa ia merasakan kasih sayang yang berlimpah  dari orangtuanya. Melalui tayangan televisi yang saya tonton, si artis mengerti bahwa di mata orangtuannya, ia selalu jadi anak-anak , selalu jadi putri kecil, bahkan ketika ia sudah berumah tangga. 

Hal tersebut dipandangnya sebagai hal yang baik-baik saja, sehingga ia tak sungkan bermanja-manja ke ibunya atau ke ayahnya. Ia masih kangen tidur bersama ayah dan ibunya, ingin diceritakan dongeng sebelum tidur. Ia masih ingin dipeluk, dibelai, kalau bisa malah ingin digendong lagi.

Satu hal yang tak terbantahkan, kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya berlaku sepanjang hayat. Mungkin karena naluri seperti itulah yang membuat orang tua tanpa sengaja sering lupa, menganggap anaknya masih kecil, yang butuh dinasehati. Terkadang saat si anak sudah menikah, masalah rumah tangga si anak pun, menjadi sasaran nasehat orang tua.

Nasehat dari siapapun, asal dilakukan dengan tulus, tentu tak ada masalah. Tapi, memberi nasehat kepada mereka yang merasa tidak butuh dinasehati, karena merasa apa yang dilakukannya sudah benar, akan mubazir. 

Apalagi bila nasehat dilakukan dengan nyinyir, menggurui, bahkan dengan nada keras seperti mengancam dan mengutuki, ini malah bisa merusak hubungan baik yang telah dibina dengan susah payah.

Tak jarang, anak-anak, termasuk anak yang sudah dewasa, sengaja melanggar nasehat ayah dan ibunya, malah sampai terlibat pertengkaran sengit, karena bosan diceramahi. Si anak seolah menantang dengan mengatakan ia sudah dewasa, jangan diatur-atur lagi. Ia sudah tahu konsekuensi dari perbuatannya dan siap menanggung risiko.

Tapi, begitulah, kalau mengacu pada pengalaman saya sendiri, baik sebagai anak, maupun sebagai ayah, memang ada yang berubah. Cara mendidik anak yang saya terima dari kedua orangtua, tak bisa saya copy and paste kepada anak-anak saya. 

Perbedaan ruang dan waktu telah mengubah banyak hal secara siginifikan, atau mungkin saya saja yang berlebihan menyikapai kehidupan yang tengah saya jalani.

Jangan tanyakan rasa sayang saya kepada tiga orang anak saya, sama dengan sayangnya kedua orangtua saya terhadap saya beserta kakak-kakak dan adik-adik saya. Hanya cara menunjukkan rasa sayang itu yang berbeda. Begitu juga cara anak menyikapinya.

Dulu, mungkin karena belum ada hape, ayah dan ibu saya tak pernah mencemaskan bila saya terlambat pulang malam. Sesampai di rumah, tak ada pertanyaan yang bersifat menyelidiki. Mungkin juga karena tingkat keamanan di kota kecil Payakumbuh, Sumbar, dekade 1970-an relatif aman.

Sekarang, anak-anak saya bukan anak kampung, tapi ia anak kota metropolitan (ada yang menyebut megapolitan) Jakarta. Maka, meskipun anak-anak saya sudah berusia di atas 20 tahun, ada yang masih kuliah, ada yang sudah sarjana, saya tak tahan untuk tidak bertanya, lagi di mana si anak, ketika jam sudah menunjukkan lewat pukul 10 malam, tapi masih di luar rumah.

Terutama kepada anak bungsu saya, satu-satunya perempuan dari tiga bersaudara, di usianya yang sudah hampir 21 tahun, setiap ia minta izin mau keluar rumah, selalu saya tekankan agar jangan pulang malam. Si anak selalu mengiyakan, namun ia begitu "kreatif" mencari alasan kenapa pulang terlambat melalui pesan singkat yang dikirim ke hape saya.

Dulu, ibu saya sangat telaten mengajar kami beradik kakak membaca kitab suci Al Quran, mengajar tata cara dan bacaan salat, dan berhasil membuat kami, meskipun belum khusuk, tidak berani meninggalkan salat lima kali sehari. Ketika kami sudah dewasa, orangtua tidak lagi mengingatkan untuk salat, karena sudah melakukannya dengan penuh kesadaran.

Sekarang, mungkin karena saya dan istri yang lebih sibuk, atau kurang sabar, akhirnya menyerahkan anak-anak les mengaji. Ketika si anak sudah besar, mereka tidak lagi rutin mengaji. 

Terkadang emosi saya sedikit terpancing karena mereka susah sekali dibangunkan untuk salat subuh, sehingga salatnya baru dilakukan ketika matahari sudah nongol.

Apakah saya terkena sindrom yang menganggap anak-anak saya selalu jadi anak kecil yang tak akan pernah dewasa? Mungkin saja. Tapi saya sudah berusaha untuk mengubahnya, perlahan-lahan memberinya kepercayaan untuk melakukan hal yang disukainya, tentu tetap dengan batasan norma agama dan hukum yang berlaku di negara kita.

Saya sudah pernah kena "skak" oleh salah satu anak lelaki saya yang mengatakan ia bukan anak-anak lagi, sudah tahu mana yang baik dan yang tidak baik. Jelas, anak lelaki saya tidak sama dengan si artis yang saya ceritakan di awal tulisan ini, yang bangga bahwa ia selalu dianggap putri kecil oleh kedua orangtuanya.

Sayang kepada anak, memang sering jadi dilema. Antara menyayangi dan mengekang, mungkin berbeda tipis, tergantung niat yang mendasarinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun