Terutama kepada anak bungsu saya, satu-satunya perempuan dari tiga bersaudara, di usianya yang sudah hampir 21 tahun, setiap ia minta izin mau keluar rumah, selalu saya tekankan agar jangan pulang malam. Si anak selalu mengiyakan, namun ia begitu "kreatif" mencari alasan kenapa pulang terlambat melalui pesan singkat yang dikirim ke hape saya.
Dulu, ibu saya sangat telaten mengajar kami beradik kakak membaca kitab suci Al Quran, mengajar tata cara dan bacaan salat, dan berhasil membuat kami, meskipun belum khusuk, tidak berani meninggalkan salat lima kali sehari. Ketika kami sudah dewasa, orangtua tidak lagi mengingatkan untuk salat, karena sudah melakukannya dengan penuh kesadaran.
Sekarang, mungkin karena saya dan istri yang lebih sibuk, atau kurang sabar, akhirnya menyerahkan anak-anak les mengaji. Ketika si anak sudah besar, mereka tidak lagi rutin mengaji.Â
Terkadang emosi saya sedikit terpancing karena mereka susah sekali dibangunkan untuk salat subuh, sehingga salatnya baru dilakukan ketika matahari sudah nongol.
Apakah saya terkena sindrom yang menganggap anak-anak saya selalu jadi anak kecil yang tak akan pernah dewasa? Mungkin saja. Tapi saya sudah berusaha untuk mengubahnya, perlahan-lahan memberinya kepercayaan untuk melakukan hal yang disukainya, tentu tetap dengan batasan norma agama dan hukum yang berlaku di negara kita.
Saya sudah pernah kena "skak" oleh salah satu anak lelaki saya yang mengatakan ia bukan anak-anak lagi, sudah tahu mana yang baik dan yang tidak baik. Jelas, anak lelaki saya tidak sama dengan si artis yang saya ceritakan di awal tulisan ini, yang bangga bahwa ia selalu dianggap putri kecil oleh kedua orangtuanya.
Sayang kepada anak, memang sering jadi dilema. Antara menyayangi dan mengekang, mungkin berbeda tipis, tergantung niat yang mendasarinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H