Bagi yang rajin menyimak berita dari berbagai stasiun televisi, tentu mengetahui bahwa terkait dengan perkembangan penanganan Covid-19 di DKI Jakarta, Gubernur Anies Baswedan tidak lagi terlalu sering tampil di depan kamera para jurnalis. Justru, sang wakil, Ahmad Riza Patria, mulai sering memberikan pernyataan.
Tidak begitu jelas, apakah Anies semakin percaya dengan kemampuan Ahmad Riza yang merupakan kader Partai Gerindra itu, atau sang wakil yang berinisiatif untuk lebih berperan.Â
Bisa pula untuk kepentingan praktis saja, karena Anies mungkin menyadari kalau ia "kurang disukai" oleh pemerintah pusat, sedangkan Ahmad Riza tampaknya lebih diterima oleh presiden atau para menteri.
Tapi, jika dilihat peran wakil gubernur di provinsi lain, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, semuanya jarang yang dapat kesempatan tampil sesering Ahmad Riza. Padahal, Ahmad Riza terbilang baru kemarin sore jadi wakil gubernur.
Ahmad Riza boleh disebut sebagai pengecualian, karena secara umum memang begitulah nasib orang kedua, lebih banyak menunggu "bola muntah", yakni pekerjaan yang sudah tidak tertangani oleh gubernur, baru "dimuntahkan" ke wakilnya.Â
Umpamanya, pada saat bersamaan ada dua agenda yang harus dihadiri gubernur, maka mau tak mau, yang dianggap kurang strategis, diserahkan kepada wakilnya.
Bahkan, Wapres Ma'ruf Amin saja, terkesan seperti kurang berperan. Amat berbeda dengan wapres sebelumnya Jusuf Kalla. Apakah Presiden Joko Widodo yang kurang memberikan delegasi kewenangan kepada wakilnya, atau bisa juga wapres yang kurang berinisiatif, tentu perlu diamati lebih teliti. Hal ini bukankah mirip dengan banyak wakil gubernur saat ini?
Publik nasional, maksudnya publik di luar provinsi yang dipimpinnya, sangat kenal dengan Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, atau Khofifah Indar Parawansa. Tapi mungkin kurang akrab telinganya dengan Uu Ruzhanul Ulum (Wakil Gubernur Jawa Barat) atau Taj Yasin (Wakil Gubernur Jawa Tengah).
Khusus untuk Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak, karena masih muda dan ganteng, relatif lebih dikenal. Namun peranannya juga relatif minim, karena Khofifah lebih dominan diberitakan media massa.
Baik, sebetulnya ada "bola muntah" lain yang sifatnya bisa membalikkan keadaan, yang mungkin juga perlu diantisipasi oleh para wakil kepala daerah. Siapa tahu, bisa saja terjadi sang gubernur berhalangan tetap, seperti meninggal dunia atau tersandung kasus korupsi.Â
Apalagi saat ini masih pandemi Covid-19, di mana sejumlah kepala daerah terpapar virus yang vaksinnya masih belum beredar. Gubernur Kepulauan Riau, Muhammad Sani, meninggal dunia sehabis mengikuti rapat di Istana Negara pada 8 April 2016. Maka, wakilnya, Nurdin Basirun, segera mengambil alih nakhoda, menjadi gubernur. Inilah bola muntah yang tinggal diceploskan saja menjadi gol.
Sayangnya, Nurdin Basirun terjerat korupsi, sehingga jadi bola muntah baru buat wakil gubernur Isdianto (yang juga adik kandung mantan gubernur Muhammad Sani yang meninggal itu tadi). Isdianto resmi jadi gubernur definitif pada akhir Juli 2020 lalu, meskipun terpilih bukan melalui mekanisme pilkada.Â
Ada beberapa contoh lagi di mana wakil gubernur melenggang jadi gubernur gara-gara gubernur sebelumnya terjerat korupsi. Nova Iriansyah di Aceh menggantikan Irwandi Yusuf.Â
Arsyadjuliandi Rachman di Riau menggantikan Annas Maamun, dan juga Rohidin Mersyah di Bengkulu menggantikan Ridwan Mukti. Jadi, kalau gubernur mau korupsi, wakilnya jangan mau ikut, agar tidak terlibat dan malah berpeluang jadi gubernur.
Masih ada bola muntah dengan modus lain, tapi ini relatif sulit terulang lagi. Yang pernah mengalami modus ini adalah Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal dengan Ahok. Ahok menerima bola muntah dari Jokowi dan kemudian memberikan bola muntah kepada Djarot Saiful Hidayat sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta.
Awalnya karena Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo terpilih menjadi presiden pada Oktober 2014 lalu, maka Ahok yang ketika itu jadi wagub, naik menjadi gubernur. Sayangnya pada Mei 2017, Basuki terpaksa harus merelakan kursinya karena menjalani hukuman gara-gara kasus penodaan agama, maka Djarot siap menduduki kursi kosong yang ditinggalkan Ahok.
Tapi Ahok ketika menjadi wagub bukan tipe yang menunggu bola muntah. Ia aktif dan relatif mampu mengimbangi gerak cepat Jokowi. Tak heran kalau namanya sering menghiasi media massa.Â
Sedangkan wagub lain, nasibnya terhenti sebagai wagub saja, dan bahkan gagal dikapitaliasi untuk bertarung memenangkan pilgub di periode berikut. Itulah yang dialami Syaifullah Yusuf, wagub dua periode di Jawa Timur mendampingi Pakde Karwo, yang gagal mengalahkan Khofifah.
Di Sumatera Barat, bahkan lebih parah lagi, sampai menjadi mitos bahwa wagub yang ikut jadi cagub di periode pilkada berikutnya, selalu kalah sejak era pemilihan gubernur secara langsung. Tinggal dibuktikan pada pilkada serentak Desember mendatang, akankah wagub Sumbar  Nasrul Abit yang diusung Gerindra, mampu memecahkan mitos tersebut.
O ya, sebelumnya banyak pihak yang menyampaikan aspirasi agar pilkada serentak ditunda saja karena dikhawatirkan jadi kluster baru pandemi Covid-19. Tapi, sepertinya pilkada sudah bisa dipastikan akan terlaksana. Hanya keajaiban besar saja yang mungkin menggagalkan.
Bagimanapun juga, menjadi orang nomor dua, bila hanya menunggu bola muntah, bukan sikap seorang pemimpin yang diharapkan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H