Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Wakil Gubernur Jangan Tunggu "Bola Muntah", Kisah Ahok Sulit Terulang

13 Oktober 2020   08:00 Diperbarui: 13 Oktober 2020   12:51 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayangnya, Nurdin Basirun terjerat korupsi, sehingga jadi bola muntah baru buat wakil gubernur Isdianto (yang juga adik kandung mantan gubernur Muhammad Sani yang meninggal itu tadi). Isdianto resmi jadi gubernur definitif pada akhir Juli 2020 lalu, meskipun terpilih bukan melalui mekanisme pilkada. 

Ada beberapa contoh lagi di mana wakil gubernur melenggang jadi gubernur gara-gara gubernur sebelumnya terjerat korupsi. Nova Iriansyah di Aceh menggantikan Irwandi Yusuf. 

Arsyadjuliandi Rachman di Riau menggantikan Annas Maamun, dan juga Rohidin Mersyah di Bengkulu menggantikan Ridwan Mukti. Jadi, kalau gubernur mau korupsi, wakilnya jangan mau ikut, agar tidak terlibat dan malah berpeluang jadi gubernur.

Masih ada bola muntah dengan modus lain, tapi ini relatif sulit terulang lagi. Yang pernah mengalami modus ini adalah Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih dikenal dengan Ahok. Ahok menerima bola muntah dari Jokowi dan kemudian memberikan bola muntah kepada Djarot Saiful Hidayat sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta.

Awalnya karena Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo terpilih menjadi presiden pada Oktober 2014 lalu, maka Ahok yang ketika itu jadi wagub, naik menjadi gubernur. Sayangnya pada Mei 2017, Basuki terpaksa harus merelakan kursinya karena menjalani hukuman gara-gara kasus penodaan agama, maka Djarot siap menduduki kursi kosong yang ditinggalkan Ahok.

Tapi Ahok ketika menjadi wagub bukan tipe yang menunggu bola muntah. Ia aktif dan relatif mampu mengimbangi gerak cepat Jokowi. Tak heran kalau namanya sering menghiasi media massa. 

Sedangkan wagub lain, nasibnya terhenti sebagai wagub saja, dan bahkan gagal dikapitaliasi untuk bertarung memenangkan pilgub di periode berikut. Itulah yang dialami Syaifullah Yusuf, wagub dua periode di Jawa Timur mendampingi Pakde Karwo, yang gagal mengalahkan Khofifah.

Di Sumatera Barat, bahkan lebih parah lagi, sampai menjadi mitos bahwa wagub yang ikut jadi cagub di periode pilkada berikutnya, selalu kalah sejak era pemilihan gubernur secara langsung. Tinggal dibuktikan pada pilkada serentak Desember mendatang, akankah wagub Sumbar  Nasrul Abit yang diusung Gerindra, mampu memecahkan mitos tersebut.

O ya, sebelumnya banyak pihak yang menyampaikan aspirasi agar pilkada serentak ditunda saja karena dikhawatirkan jadi kluster baru pandemi Covid-19. Tapi, sepertinya pilkada sudah bisa dipastikan akan terlaksana. Hanya keajaiban besar saja yang mungkin menggagalkan.

Bagimanapun juga, menjadi orang nomor dua, bila hanya menunggu bola muntah, bukan sikap seorang pemimpin yang diharapkan rakyat.

dok. detik.com
dok. detik.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun