Suatu kali di kantor tempat saya bekerja, terjadi pertengkaran antara dua orang karyawati yang masing-masing sudah punya keluarga. Sebut saja yang terlibat adu mulut itu, namanya Bu Astri dan Bu Hema. Keduanya sama-sama staf di Bagian Analisis Laporan Keuangan, kantor pusat sebuah BUMN.
Mungkin kesal karena Astri sering pulang tenggo (tepat waktu pas pukul 16.30), padahal lagi banyak pekerjaan, Astri mengeluarkan kata-kata sindiran yang memerahkan telinga Hema. Saya lupa apa persisnya kalimat yang dilontarkan Astri. Tapi jawaban Hema yang berkesan, makanya saya teringat terus.
"Yang penting pekerjaan gue beres. Ini juga gue bawa kerjaan ke rumah. Lu liat aja, besok pagi juga kelar. Lu tu yang payah, masak kerjaan rumah lu bawa-bawa ke kantor," sergah Hema. "Liat tuh, perut lu bunting, kan itu kerjaan rumah yang lu bawa-bawa ke kantor," lanjut Hema, yang bikin teman lain yang ikut mendengar tertawa ngakak.
Baik, sepenggal kisah nyata karena saya merupakan salah seorang saksi yang melihat dan mendengar langsung peristiwa itu, hanya sekadar pembuka tulisan ini saja. Soalnya, hal itu berkaitan dengan topik yang saya tulis, yakni sesuai judul di atas, tentang batas antara pekerjaan kantor dan urusan pribadi.
Ketika itu, sekitar 15 tahun lalu, belum banyak orang yang di rumahnya memasang jaringan internet. Sehingga nasehat yang sering diucapkan bos-bos kepada para anak buahnya, antara lain tentang pentingnya ketekunan dalam bekerja di kantor, dan tidak melakukan hal yang bersifat pribadi selama jam kerja, serta jangan memakai peralatan kantor untuk urusan selain dinas.
Dulu, beberapa karyawan memang banyak yang menggunakan telpon kantor untuk keperluan pribadi. Ada juga yang memakai mesin foto kopi kantor untuk menggandakan dokumen pribadinya.Â
Soal korupsi waktu, jangan ditanya lagi. Meskipun resminya jam istirahat berlangsung dari pukul 12.00 hingga 13.00, karyawan seenaknya mempercepat mulainya jam istrirahat sekaligus memperlambat mulai bekerja kembali.
Baru pukul 11-an, satu persatu karyawan ngacir mencari makan di warung amigos (agak minggir got sedikit) di belakang kantor. Setelah itu menuju masjid kantor. Bukannya langsung salat, tapi leyeh-leyeh sambil ngobrol ngalor ngidul. Hampir pukul 14.00 barulah mereka salat dan kembali ke ruang kerja.
Sebaliknya, kalau di rumah, giliran istri yang menasehati suaminya yang karyawan, agar persoalan kantor jangan dibawa ke rumah. Maksudnya biar si suami lebih santai bercengkerama dengan istri dan anak-anaknya.
Yang ingin saya tekankan, sebelum era internet merambah ke rumah-rumah, memisahkan urusan pekerjaan dan urusan pribadi, merupakan hal yang sangat disarankan. Tentu tujuannya baik, agar di kantor bisa lebih produktif, dan begitu juga di rumah bisa lebih nyaman.
Hal itu jugalah yang membuat saya selalu terlambat dalam menggunakan peralatan teknologi informasi. Ketika di kantor hampir semua orang sudah punya ponsel, saya baru "terpaksa" membeli.Â
Ketakutan untuk selalu dipantau bos, termasuk saat leyeh-leyeh di musala kantor, atau lagi asyik buang air besar sambil baca koran, membuat saya malas punya ponsel.
Begitu pula ketika semuanya sudah pakai telpon pintar, baru saya ikut-ikutan membeli dan menggunakannya. Tapi untuk yang ini, sungguh saya menyesal, seharusnya lebih awal saya melakukannya, tidak menunggu telpon jadul yang hanya bisa menelpon dan saling berkirim es-em-es itu rusak terlebih dahulu.
Soalnya, begitu saya punya telpon pintar, ikut rapat tidak lagi membuat saya bosan sambil ngantuk-ngantuk. Seperti yang lain, diam-diam saat rapat saya berselancar di dunia maya, bukan mencari referensi agar bisa menyampaikan pendapat dalam forum rapat, tapi chatting dengan mantan pacar yang sekarang sudah jadi istri.Â
Akibatnya, begitu pimpinan rapat yang juga bos saya meminta pendapat, saya gelagapan dan ngomong asal bunyi saja kayak orang kumur-kumur. Aduh, malunya itu yang gak tahan. Ini namanya nikmat yang membawa sengsara.
Lalu, tak dinyana, tak diduga, datanglah era pandemi Covid-19. Orang kantoran pun bekerja dari rumah, work from home (WFH) istilah kerennya. Awalnya sih hepi-hepi saja, bekerja dengan baju kaos dan celana pendek, ngemil seenaknya, dan masih bisa sambil melakukan urusan pribadi.Â
Kalau rapat pakai zoom, harus sedikit lebih rapi. Tapi, tak ada lagi kotak snack untuk rapat atau nasi kotak bila rapat mendekati jam makan siang. Tidak masalah, kan bisa ngemil biskuit sendiri, asal mengunyah dengan pelan-pelan, biar tidak ketahuan sebagai tukang makan.
Namun demikian, ketika pandemi sudah berlangsung beberapa bulan, tanpa kejelasan kapan akan berakhir, bos mulai seenaknya mengatur rapat virtual, bisa pagi, bisa malam. Itupun bersambung dengan instruksi yang bertubi-tubi melalui grup WA atau japri. Padahal, instruksi yang kemarin saja belum kelar, tambah lagi yang baru. Sudah begitu, bos sering marah-marah lagi ketika rapat virtual.
Maka, jelaslah, bahwa dengan pola bekerja yang semakin campur aduk antara urusan pekerjaan dan pribadi sebagai dampak WFH, mulai berdampak pada kesehatan, baik fisik maupun mental. Baik bos, maupun anak buah, sama-sama rawan jadi pengidap stres.Â
Psikiater dan psikolog, bisa jadi lebih sibuk melayani berbagai kasus yang dikonsultasikan kepada mereka. Tapi, ya karena pandemi, konsultasi pun lebih banyak secara virtual.Â
Jadi, Â sehubungan dengan Hari Kesehatan Jiwa 2020 yang jatuh pada 10 Oktober kemarin, pengelolaan stres akibat perubahan pola kerja gara-gara pandemi, layak mendapatkan perhatian serta dicarikan solusi untuk bisa mengatasinya. Secara umum, mereka yang fokus, bisa memisahkan mana yang urusan pekerjaan dan mana yang urusan pribadi, akan lebih baik kondisinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H