Sewaktu masih aktif berdinas di sebuah perusahaan milik negara, saya lumayan sering dapat penugasan mengikuti pelatihan singkat untuk satu hingga dua minggu di luar negeri. Namun pernah juga yang relatif lama, yakni selama 3 bulan pada tahun 1995 di Singapura.
Sedikit banyak penugasan itu bisa menjadi pelipur lara atas tidak terwujudnya obsesi saya. Ya, saya berhasrat sekali mengikuti program S-2 di Amerika Serikat (AS), Eropa, atau Australia dengan dibiayai oleh dinas seperti yang dialami oleh beberapa teman satu angkatan saya.
Hanya saja, nasib berkata lain, saya hanya dibiayai untuk mengambil gelar magister manajemen di sebuah perguruan tinggi negeri. Itupun sangat saya sukuri karena saya ikut program reguler, sehingga dua tahun penuh 1997-1999, saya fokus kuliah dan tetap dapat gaji.
Alhamdulillah, keinginan untuk melihat negeri orang, seperti beberapa negara Eropa, AS, Australia, Jepang, Hongkong, China, dan beberapa negara ASEAN, saya dapatkan melalui pelatihan singkat yang saya singgung sebelumnya.
Dalam kebanyakan kunjungan ke luar negeri tersebut, saya beberapa kali bertemu diaspora Indonesia yang sudah jadi residen permanen. Seperti di Australia, kendaraan yang kami (saya dan beberapa teman) sewa untuk jalan-jalan, dimiliki sekaligus disopiri oleh lelaki berusia 50-an tahun asal Malang, Jawa Timur.
Di New York, saya juga sempat ngobrol dengan keluarga pemilik rumah makan yang menyediakan masakan Minang "Upi Jaya". O ya, lidah Indonesia saya, seperti juga teman-teman saya, memang susah diajak kompromi bila menyantap masakan asing. Makanya, mencari informasi di mana alamat restoran Indonesia, menjadi hal yang wajib bila berada di luar negeri.
Dari ngobrol-ngobrol itu, saya mendapatkan informasi tentang kenyamanan tinggal di luar negeri. Seperti pengemudi asal Malang tersebut, ia yakin kalau tetap di Indonesia dengan keahlian meyetir tapi tanpa modal, akan sulit hidup mapan. Tapi di Australia, asal mau berusaha, bahkan untuk pekerjaan lain yang tergolong "kasar", akan mendapat penghasilan lumayan.
Mereka merasa nyaman tinggal di negeri orang, meskipun sebagai penganut agama Islam mereka menjadi kelompok minoritas. Meskipun masjid tidak banyak, mereka merasa gampang untuk beribadah, tidak mendapat perlakuan diskriminatif dari kelompok mayoritas, dan sangat kompak dengan sesama muslim yang berasal dari berbagai negara.
Hanya saja, kenyamanan hidup di negeri orang tidak otomatis menghilangkan kerinduannya akan kampung halaman. Makanya, banyak juga diaspora Indonesia yang menginginkan nantinya akan menghabiskan hari tua di negeri sendiri.Â
Bahkan, banyak yang masih mempertahankan paspor Indonesia dan tetap bersatus WNI. Toh, dengan menjadi permanent resident, mereka mendapat berbagai fasilitas seperti juga penduduk asli negara tersebut.
Namun demikian, bagi anak-anak mereka yang lahir atau sejak anak-anak telah berdiam di luar negeri, keinginan untuk ke Indonesia hanya sebatas jalan-jalan saja, baik untuk melihat jejak sejarah orangtuanya, maupun untuk menikmati keindahan alam di negeri nyiur melamabai ini. Cerita tentang betapa indahnya Indonesia, selalu didengungkan orang tua kepada anak-anaknya.