Maka, ketika Soekarno diasingkan pemerintah kolonial Belanda ke Bengkulu, dan akhirnya menemukan jodohnya dengan gadis setempat, Fatmawati, akhirnya Sekarno pun dipanggil dengan Bung Karno. Inilah asal muasal menyebarnya panggilan "bung".
Sayangnya, sekarang sapan "bung" terasa asing. Mungkinkah bisa dipopulerkan kembali dalam bahasa ngeblog sebagai aktivitas menulis yang sering dilakukan generasi masa kini? Sekarang anak muda lebih senang memakai bro dan sis, atau gaes. Tapi, bukankah bung hanya ditujukan bagi laki-laki, apa padanannya untuk perempuan?
Dari referensi yang saya baca, Menteri Penerangan di era orde baru, Harmoko, pernah mengusulkan "rung" sebagai pasangan bung bagi perempuan. Ide itu berawal dari sepucuk surat yang diterima Harmoko, yang dikirimkan dari Sumsel. Rung lazim dipakai di Rejang Lebong, Bengkulu.Â
Harmoko sendiri, namanya sering diplesetkan sebagai "hari-hari omong kosong" oleh para pengkritik rezim Soeharto. Tentu bukan gara-gara plesetan itu usulannya tidak diterima masyarakat.
Memang, pada orde baru tersebut, meskipun Soeharto, sang penguasa waktu itu, lebih senang dipanggil "bapak", ada beberapa pejabat yang sesekali masih dipanggil "bung", seperti Bung Harmoko dan Bung Gafur (Abdul Gafur, pernah menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga, baru meninggal dunia pada 5 September 2020 lalu).
Lalu, pada era reformasi sekarang ini, sapaan "bung" sudah sangat langka. Entah kenapa jadi tersisih, mungkin tidak cocok lagi dengan kehendak zaman. Ayo Bung, kita populerkan lagi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H