Hal ini berbeda dengan sebelumnya di mana BI hanya bisa membeli lewat mekanisme pasar (setelah pasar perdana melalui bursa efek, disebut juga pasar sekunder).
Itulah konsekuensi dari skema burden sharing (berbagi beban) yang telah disepakati pemerintah dan BI untuk menutupi defisit anggaran karena dampak pandemi Covid-19 yang tentu saja tidak terduga dan belum diperhitungkan saat menyusun anggaran belanja tahun 2020 ini.
Dapat diduga, utang pemerintah kepada BI akan semakin membengkak. Hal yang wajar dibandingkan bila pemerintah harus berutang ke luar negeri yang pasti prosesnya tidak gampang, melalui berbagai tahap penilaian. Padahal pemerintah menginginkan aliran uang masuk seketika, mengingat kebutuhan yang mendesak untuk menanggulangi pandemi.
Namun demikian, bila skema burden sharing itu dilanjutkan dengan menurangi independensi BI, tak berlebihan bila disebut sebagai menembak kaki sendiri yang sedang pincang. Atau dalam bahasa sehari-hari, hal ini ibarat "dikasih hati, minta jantung".
Semoga revisi UU BI, jika itu terlaksana, tidak membawa ke kondisi orde baru, ketika BI menjadi alat pemerintah. Independensi BI merupakan salah satu hasil reformasi yang perlu dipertahankan demi terciptanya kestabilan perekonomian yang antara lain ditandai dengan tingkat inflasi yang rendah dan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap uang asing yang terkendali.
Soalnya, seperti yang telah disinggung di atas, bila program pemerintah diboncengi oleh kepentingan politis dari koalisi partai yang berkuasa, maka BI telah terkooptasi dalam arti yang negatif karena ikut-ikutan berpolitik.Â
Bukankah dengan dalih untuk pertumbuhan ekonomi atau untuk penciptaan lapangan kerja, bisa saja dibuat program yang menguntungkan partai tertentu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H