Secara umum, terdapat peningkatan usia harapan hidup di Indonesia, dari rata-rata 69 tahun (71 tahun untuk wanita dan 67 tahun untuk pria) pada tahun 2016, menjadi rata-rata 71,2 tahun (73, 19 tahun untuk wanita dan 69,3 tahun untuk pria) pada tahun 2018.
Artinya, jumlah orang lanjut usia (lansia) di negara kita semakin banyak dan karenanya wajar mendapat perhatian khusus. Tentu saja, lansia yang hidup sehat dan masih produktif akan ikut berkontribusi untuk lingkungannya atau paling tidak untuk keluarganya.
Namun demikian, untuk soal produktivitas ini, perlu dilihat secara hati-hati agar tidak terkesan malah menambah beban seseorang di hari tuanya, saat yang sebetulnya lebih tepat digunakan untuk menikmati kehidupan.
Bagi yang bekerja di suatu instansi atau sebuah perusahaan, ketika memasuki pensiun di usia 56 tahun, 58 tahun, atau ada juga yang 60 tahun, rata-rata masih punya semangat untuk bekerja hingga usia 65 tahun, bahkan bisa lebih dari itu.
Maka jangan heran, bila banyak pensiunan yang kembali bekerja, baik bersifat formal, atau sekadar mencari kesibukan. Banyak pekerjaan yang sifatnya lebih fleksibel, seperti berkebun, mengajar, menulis buku, jadi pembicara seminar, dan konsultan, yang menjadi pilihan para pensiunan.
Lansia memang secara fisik mulai mengalami kemunduran, sehingga gerakannya sudah tidak lagi lincah. Tapi berdasarkan pengalaman hidup yang telah dilaluinya, biasanya lansia mempunyai sikap yang arif dan bijaksana.Â
Makanya, di berbagai organisasi sosial, juga di partai politik, mereka yang berpengalaman, tapi sudah lansia, ditempatkan sebagai penasehat atau pembina.
Dengan waktu luang yang banyak, satu hal yang sulit dielakkan, lansia identik dengan kesepian. Kesepian bisa membawa derita bila disertai post power syndrome.Â
Hal ini bisa berbuntut dengan munculnya berbagai penyakit, baik yang bersifat psikis seperti depresi, maupun yang berdampak kepada organ tubuh seperti sakit jantung atau stroke.
Namun, kesepian bisa juga berarti kebahagiaan, jika diisi dengan pemikiran yang positif. Â Bahagia dengan kader-kader yang dilahirkannya di tempatnya bekerja. Bangga dengan anak-anaknya yang sudah jadi "orang". Asyik bermain dengan cucu-cucunya. Bersyukur dengan pencapaiannya selama ini. Tak jarang pula lansia yang menulis memoar sebagai warisan berharga untuk generasi penerus.
Jadi, kesepian di masa tua, tidak harus dimaknai dengan sesuatu yang menyedihkan. Justru bagi yang sudah menyiapkan mental, akan mendatangkan kebahagiaan. Tentu saja ini berkaitan dengan persiapan di masa lalunya.
Persiapan dimaksud bisa saja dalam arti finansial telah mencukupi, sehingga di masa pensiun tidak mengalami kesulitan keuangan. Akan berbeda halnya orang tua yang mengandalkan kehidupannya pada kemurahan hati anak dan menantunya, yang juga belum tentu hidup berkecukupan.
Maka berkaitan dengan soal anak tersebut, persiapan yang tak kalah penting tentu saja memberikan bekal yang cukup agar anak-anak mereka bisa sukses dalam pendidikan, berkarier, dan berkeluarga. Betapa bahagianya orang tua yang berhasil menuntaskan tanggung jawabnya, ketika semua anaknya sudah mandiri.
Kesepian bisa pula dihilangkan dengan kesibukan aktivitas sosial dan keagamaan. Rajin salat berjamaah di masjid dan mengikuti acara pengajian (asumsinya bukan pada masa pandemi seperti sekarang), atau menerima amanah menjadi ketua atau pengurus RT/RW.
Tapi, bila hari-hari tua diisi dengan melamunkan kenangan masa lalu, lalu ngomel-ngomel menyalahkan orang lain, merasa ada saja bagian tubuhnya yang sakit, maka ini pertanda yang belum siap menghadapi kenyataan di masa tua.
Gampang kok melihat lansia yang bahagia, dari wajahnya juga terbaca. Yang sering senyum, senang bertegur sapa dan tertawa dengan siapapun yang ditemuinya, terlihat lebih muda dari usia yang sesungguhnya.
Sebaliknya, mereka yang sering cemberut, sering mengeluh kepada orang lain yang ditemuinya, bercerita tentang anak-anaknya yang dinilainya tidak mau tahu dengan orangtuanya, gampang diduga, mereka lansia yang menderita. Biasanya, wajahnya terlihat lebih tua dari usia yang sesungguhnya.
Perlu diingat, orang tua yang bahagia atau yang menderita dalam kesepian itu tidaklah bersifat permanen. Orang yang sama bisa saja hari ini merasa bahagia, tapi minggu depannya merasa menderita. Hari ini bersikap arif, tapi besok bertingkah seperti anak kecil, menelpon anak cucunya dan minta macam-macam.
Asal saja perasaan berbahagianya bertahan lebih lama, dan hanya sesekali merasa sedih, itu sudah termasuk bagus. Kuncinya, orang tua mau menerima kenyataan, dan menyadari bahwa setiap zaman ada perbedaannya. Bahkan, jika perlu, orang tua tidak sungkan belajar internetan dengan anak atau cucunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H