Dari uraian di atas, paling tidak ada empat kerugian besar yang berpotensi terjadi bila Pilkada Serentak tetap dipaksakan berlangsung Desember mendatang.
Pertama, terjadinya kenaikan yang signifikan jumlah terkonfirmasi positif Covid-19 yang juga diikuti peningkatan korban yang meninggal dunia.
Kedua, citra penyelenggara Pemilu akan tercoreng bila masyarakat yang memboikot relatif banyak, dengan memilih golput. Tingkat partisipasi pemilih yang rendah menjadi salah satu indikator ketidakberhasilan Pilkada.
Ketiga, kualitas demokrasi yang diragukan bila di daerah yang menunculkan kotak kosong, paslon tunggal mengalami kekalahan.
Keempat, demikian banyak anggaran negara yang dikucurkan untuk Pilkada Serentak, akan menjadi sia-sia, apalagi bila ditambah dengan Pilkada ulangan di daerah yang dimenangi oleh kotak kosong.
Sekadar untuk diketahui, jumlah anggaran yang dipertaruhkan jika Pilkada Serentak jadi digelar, melonjak dari yang semula sebesar Rp 15,23 triliun, menjadi Rp 20,46 triliun, seperti yang dilansir dari tribunnews.com (22/9/2020).
Dalam rapat bersama di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/9/2020), telah diputuskan Pilkada Serentak tetap akan digelar 9 Desember 2020. Keputusan itu sesuai dengan kesepakatan bersama peserta rapat yakni dari Kementerian Dalam Negeri, KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), dan Komisi II DPR.
Namun demikian, mengingat adanya bayangan empat kerugian di atas, akan lebih bijak bila semua pihak yang terkait kembali duduk bersama dan menyepakati untuk menunda Pilkada Serentak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H