Jakob Oetama meninggal dunia, Rabu 9 September 2020 lalu. Tidak hanya keluarga besar Kelompok Kompas Gramedia yang berduka, tapi semua mereka yang punya perhatian terhadap perkembangan media di tanah air, juga mereka yang memperhatikan masalah kemanusiaan dan kebangsaan, ikut merasakan kedukaan yang mendalam.Â
Kalau kita menyimak pemberitaan di media massa, terungkaplah betapa banyak pejabat, public figure, politisi, pemuka masyarakat, pemuka semua agama, budayawan, serta masyarakat biasa, (selain orang pers, tentunya), yang menghormati Jakob, sekaligus mengakui sumbangsih beliau yang demikian besar bagi Indonesia.
Jadi, sangat tepat bila dikatakan bahwa Jakob tidak hanya milik Kelompok Kompas Gramedia yang didirikan almarhum, tapi sudah menjadi milik semua kalangan di tanah air tercinta ini. Di Kompasiana, telah puluhan tulisan yang berisi ungkapan dukacita atas kepergian Jakob, dan juga yang mengupas pemikiran serta keteladanan yang ditinggalkannya sebagai warisan yang tidak ternilai harganya.
Tulisan ini mencoba mengangkat tentang betapa cintanya Jakob pada Indonesia. Saking cintanya, Jakob selalu berolah pikir, merenung, berdiskusi dengan para pakar, bahkan menggugat kondisi yang membuat Indonesia yang diidam-idamkannya tidak kunjung terwujud.
Seperti yang ditulis pada Tajuk Rencana Kompas (10/9/2020), hal-hal yang digugat Jakob dicontohkan dengan beberapa pertanyaan yang sampai kini tetap relevan karena belum ditemukan jawabannya. Atau mungkin secara teoritis, para pakar sudah punya jawaban, tapi pada tingkat implementasi, belum bisa berjalan seperti yang diharapkan.
Mengapa petani kita miskin? Mengapa nelayan kita tetap miskin? Mengapa daerah tertentu miskin meski sumber daya manusia memadai. Mengapa bangsa ini tidak bergerak maju? Mengapa korupsi tetap merajalela kendati pemerintah telah bergeser dari otokrasi ke demokrasi? Apa yang salah dengan bangsa ini?
Itulah beberapa pertanyaan atau gugatan Jakob. Karena kecintaannya kepada tanah air dan kebangsaan, Jakob selalu menggugat negeri ini. Bagaimana dengan Aceh? Bagaimana dengan Papua? Bagaimana dengan Flores? Janganlah melihat Indonesia hanya dari Jakarta. Pergilah ke daerah dan lihat bagaimana perkembangannya.
Ninok Leksono, Redaktur Senior Harian Kompas, dalam tulisannya berjudul "Manusia dan Indonesia, Itulah Pergulatannya" (Kompas, 10/9/2020), juga menghadirkan banyak pertanyaan yang diajukan Jakob. Jakob menyebut Tanah Air, tanahnya sudah (dibangun), tetapi mana airnya?Â
Jati diri seorang Jakob, impiannya, tujuan darma baktinya adalah satu untuk Indonesia, dua untuk Indonesia, dan tiga untuk Indonesia. Begitulah Ninok menggambarkan betapa cintanya Jakob dengan Indonesia yang selalu ada di benak beliau.
Ada lagi pertanyaan lain yang lebih bersifat ideologis tingkat tinggi menyangkut kapitalisme. Apa iya kapitalisme pasar bebas merupakan ideologi yang sempurna dan mampu menyelesaikan permasalahan dunia? Kok, masih banyak kemelaratan di negara kapitalis makmur. Apakah demokrasi liberal cocok untuk semua bangsa? Â Bagaimana di Indonesia yang bermusyawarah untuk mufakat?
Begitulah, betapa kritisnya seorang Jakob Oetama. Bisa jadi pertanyaan yang sama muncul di benak banyak orang lain. Tapi sangat sedikit yang dengan konsisten melakukannya. Tak heran kalau Kompas sering mengadakan diskusi panel dengan sejumlah pakar, antara lain tentu untuk menjawab gugatan tersebut. Kompas juga tidak segan-segan menghadirkan pakar dari luar negeri untuk memaparkan pemikirannya.