Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pertanyaan Jakob Oetama yang Belum Terjawab

11 September 2020   19:13 Diperbarui: 11 September 2020   20:41 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. kompas gramedia, dimuat idntimes.com

Jakob Oetama meninggal dunia, Rabu 9 September 2020 lalu. Tidak hanya keluarga besar Kelompok Kompas Gramedia yang berduka, tapi semua mereka yang punya perhatian terhadap perkembangan media di tanah air, juga mereka yang memperhatikan masalah kemanusiaan dan kebangsaan, ikut merasakan kedukaan yang mendalam. 

Kalau kita menyimak pemberitaan di media massa, terungkaplah betapa banyak pejabat, public figure, politisi, pemuka masyarakat, pemuka semua agama, budayawan, serta masyarakat biasa, (selain orang pers, tentunya), yang menghormati Jakob, sekaligus mengakui sumbangsih beliau yang demikian besar bagi Indonesia.

Jadi, sangat tepat bila dikatakan bahwa Jakob tidak hanya milik Kelompok Kompas Gramedia yang didirikan almarhum, tapi sudah menjadi milik semua kalangan di tanah air tercinta ini. Di Kompasiana, telah puluhan tulisan yang berisi ungkapan dukacita atas kepergian Jakob, dan juga yang mengupas pemikiran serta keteladanan yang ditinggalkannya sebagai warisan yang tidak ternilai harganya.

Tulisan ini mencoba mengangkat tentang betapa cintanya Jakob pada Indonesia. Saking cintanya, Jakob selalu berolah pikir, merenung, berdiskusi dengan para pakar, bahkan menggugat kondisi yang membuat Indonesia yang diidam-idamkannya tidak kunjung terwujud.

Seperti yang ditulis pada Tajuk Rencana Kompas (10/9/2020), hal-hal yang digugat Jakob dicontohkan dengan beberapa pertanyaan yang sampai kini tetap relevan karena belum ditemukan jawabannya. Atau mungkin secara teoritis, para pakar sudah punya jawaban, tapi pada tingkat implementasi, belum bisa berjalan seperti yang diharapkan.

Mengapa petani kita miskin? Mengapa nelayan kita tetap miskin? Mengapa daerah tertentu miskin meski sumber daya manusia memadai. Mengapa bangsa ini tidak bergerak maju? Mengapa korupsi tetap merajalela kendati pemerintah telah bergeser dari otokrasi ke demokrasi? Apa yang salah dengan bangsa ini?

Itulah beberapa pertanyaan atau gugatan Jakob. Karena kecintaannya kepada tanah air dan kebangsaan, Jakob selalu menggugat negeri ini. Bagaimana dengan Aceh? Bagaimana dengan Papua? Bagaimana dengan Flores? Janganlah melihat Indonesia hanya dari Jakarta. Pergilah ke daerah dan lihat bagaimana perkembangannya.

Ninok Leksono, Redaktur Senior Harian Kompas, dalam tulisannya berjudul "Manusia dan Indonesia, Itulah Pergulatannya" (Kompas, 10/9/2020), juga menghadirkan banyak pertanyaan yang diajukan Jakob. Jakob menyebut Tanah Air, tanahnya sudah (dibangun), tetapi mana airnya? 

Jati diri seorang Jakob, impiannya, tujuan darma baktinya adalah satu untuk Indonesia, dua untuk Indonesia, dan tiga untuk Indonesia. Begitulah Ninok menggambarkan betapa cintanya Jakob dengan Indonesia yang selalu ada di benak beliau.

Ada lagi pertanyaan lain yang lebih bersifat ideologis tingkat tinggi menyangkut kapitalisme. Apa iya kapitalisme pasar bebas merupakan ideologi yang sempurna dan mampu menyelesaikan permasalahan dunia? Kok, masih banyak kemelaratan di negara kapitalis makmur. Apakah demokrasi liberal cocok untuk semua bangsa?  Bagaimana di Indonesia yang bermusyawarah untuk mufakat?

Begitulah, betapa kritisnya seorang Jakob Oetama. Bisa jadi pertanyaan yang sama muncul di benak banyak orang lain. Tapi sangat sedikit yang dengan konsisten melakukannya. Tak heran kalau Kompas sering mengadakan diskusi panel dengan sejumlah pakar, antara lain tentu untuk menjawab gugatan tersebut. Kompas juga tidak segan-segan menghadirkan pakar dari luar negeri untuk memaparkan pemikirannya.

Bagi pembaca setia Kompas, pasti mengetahui betapa "warna" Jakob sangat dominan. Rasanya tak ada media lain yang begitu intens mengangkat topik tentang Pancasila yang harus selalu kita pelihara. Demikian pula tentang berbagai kasus korupsi dan sekaligus memberikan masukan untuk upaya pencegahannya.

Fakta menyedihkan yang menimpa petani, nelayan, tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri, masalah pendidikan dan kesehatan di daerah terpencil, kekerasan terhadap anak dan perempuan, pelestarian budaya tradisional, juga menjadi topik yang sering mengemuka di koran paling berpengaruh di Indonesia itu.

Tentang kualitas demokrasi kita, maraknya fenomena politik uang, serangan fajar, calon tunggal melawan kotak kosong, juga menjadi keprihatinan yang terus menerus disuarakan Kompas. Termasuk pula mengenai bagi-bagi kekuasaan dan masyarakat yang terbelah dua karena pilihan politik.

Jangan lupa, masalah intoleransi dengan segala intriknya, tekanan dari kelompok mayoritas terhadap minoritas, atau kesenjangan ekonomi yang dikuasai segelintir konglomerat, tak luput "dikuliti" Kompas.

Last bat not least, di masa pandemi Covid-19 ini, liputan Kompas yang berkaitan dengan ini, terbilang lengkap dari berbagai penjuru tanah air, diperkaya dengan pengolahan data secara statistik, yang harusnya sangat membantu bagi pemerintah maupun masyarakat.

Kembali ke pertanyaan atau gugatan Jakob Oetama di atas, menjadi utang kita bersama dan generasi sesudahnya untuk mampu menjawab secara tuntas. Kita itu maksudnya ya pemerintah, ya dunia usaha, ya masyarakat. Pokoknya semuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun