Saat Alfred Riedl, pelatih asal Austria yang mengantarkan Indonesia dua kali meraih posisi juara kedua Piala AFF tahun 2010 dan 2016, meninggal 8 September 2020 lalu, para pencinta sepak bola Indonesia merasakan dukacita yang dalam.
Harus diakui, meskipun Alfred gagal membawa timnas senior menjadi yang terbaik di Asia Tenggara, tapi dengan dua kali runner-up, itulah prestasi terbaik Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini.
Tapi bila kita amati sejarah panjang perjalanan sepak bola nasional, ada beberapa pelatih lain yang lebih berprestasi dari Alfred. Sebagian besar adalah pelatih asing, yakni Wiel Coerver, Toni Pogacnik, Anatoli Polosin, dan Bertje Matulapelwa yang merupakan satu-satunya pelatih domestik yang paling kinclong prestasinya.
Yang paling jadul tentu saja Toni Pogacnik. Pelatih yang berasal dari Yugoslavia (negara ini sudah tidak ada dan pecah jadi beberapa negara) didatangkan ke Indonesia berkat diplomasi Presiden Soekarno dengan sahabatnya pemimpin Yugoslavia, Josip Broz Tito, pada tahun 1954.
Toni berhasil membawa Indonesia tampil di Olimpiade Melbourne, Australia, 1956. Prestasi fenomenal yang sering dikutip pers hingga sekarang, di Olimpiade tersebut Indonesia sukses menahan imbang Uni Soviet 0-0 dalam waktu 2 kali 45 menit, ditambah babak perpanjangan waktu 2 kali 15 menit.
Pahlawan Indonesia ketika itu tentu saja penjaga gawang yang luar biasa, Maulwi Saelan. Karena pertandingan tersebut dalam babak perempat final, tetap harus ada pemenangnya, sehingga pertandingan diulang kembali setelah 36 jam. Menurut merdeka.com (3/7/2018), karena pemain Indonesia sudah tidak fit lagi, akhirnya kalah 0-4.
Kemudian, puncak prestasi Toni adalah mempersembahkan medali perunggu Asian Games 1958 di Tokyo, Jepang. Sayang, Toni meninggalkan Indonesia dengan cerita tidak enak. Indonesia dihantam skandal suap yang melibatkan sejumlah pemain, justru saat Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games 1962 (liputan6.com, 7/5/2020).
Indonesia nyaris tampil di Olimpiade Montreal, Kanada, 1976. Dalam final babak pra Olimpiade Zona II Asia, Indonesia tampil di Gelora Bung Karno (saat itu masih bernama Stadion Utama Senayan), berhadapan dengan Korea Utara. Sukses menahan imbang 0-0 selama 90 menit plus 30 menit, harapan Indonesia pupus setelah Iswadi Idris dan kawan-kawan kalah dalam adu penalti.
Dalam adu penalti tersebut, Indonesia sudah sempat unggul 3-2 yang membuat 120.000 penonton yang membludak hinga di lintasan atletik, sudah sangat yakin Indonesia lolos ke Olimpiade. Tapi tendangan Suaeb Rizal dan Anjas Asmara gagal menghasilkan gol, sehingga skor akhir 5-4 untuk Korea Utara. Para pemain timnas pun bertangisan di lapangan saking sedihnya.
Siapa yang menjadi juru racik strategi timnas ketika itu? Ialah seorang pelatih hebat asal Belanda, Wiel Coerver. Pelatih ini berani memainkan Suhatman Imam, pemain asal PSP Padang yang mengikuti diklat sepak bola di Salatiga, Jawa Tengah. Usia Suhatman masih 19 tahun ketika dipercaya menjadi starter dengan posisi pemain gelandang yang bertugas mendistribusikan bola di partai final melawan Korea Utara itu.Â
Butuh waktu 10 tahun kemudian, Indonesia baru menorehkan prestasi yang cemerlang lagi. Kali ini giliran pelatih lokal, Bertje Matulapelwa yang menukangi timnas. Indonesia menembus semifinal Asian Games 1986 di  Seoul, Korea Selatan. Ricky Jakobi dan Herry Kiswanto menjadi pemain kunci waktu itu.
Uniknya, Bertje sendiri sebelum menjadi pelatih kepala hanyalah seorang asisten pelatih dari Sinyo Aliandoe. Sinyo gagal membawa Indonesia lolos masuk babak kualifikasi Piala Dunia 1986, sehingga Bertje yang dijuluki "sang pendeta" karena pembawaannya yang dingin, langsung ditunjuk menangani timnas.
Prestasi terbaik Bertje adalah mempersembahkan medali emas SEA Games 1987 yang berlangsung di Jakarta. Ketika itu belum ada Piala AFF dan SEA Games masih diikuti oleh pemain senior (bukan U-23 seperti sekarang), sehingga boleh disebutkan saat itu Indonesia yang terbaik di Asia Tenggara.
Indonesia masih sempat mencicipi yang terbaik di Asia Tenggara, dengan kembali memperoleh medali emas SEA Games 1991 di Manila, Filipina. Kali ini timnas ditangani pelatih asing asal Rusia, Anatoli Polosin. Ia mirip dengan pelatih timnas sekarang Shin Tae-yong, mengutamakan latihan fisik yang keras. Aji Santoso dan Widodo C Putro adalah bagian dari skuad emas tersebut yang sekarang meniti karier sebagai pelatih.
Terhitung sejak 1991, untuk level timnas senior, Indonesia tidak pernah lagi bersinar, sehingga tak heran prestasi Alfred terasa menyejukkan, meskipun hanya pada tahap nyaris juara Asia Tenggara. Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales menjadi bintang di era Alfred.
Harapan untuk mengembalikan masa kejayaan timnas kita sekarang berada di pundak pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae-yong. Â Memang, apa boleh buat, kita masih membutuhkan pelatih asing. Pelatih lokal seperti Indra Sjafri dan Fachri Husaini, baru berhasil sebatas menangani pemain usia remaja.Â
Sambil mengenang Alfred Riedl, jangan lupakan "sang pendeta" Bertje Matulapelwa, pelatih lokal jempolan yang telah menghadap Tuhan pada 9 Juli 2002 dalam usia 60 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H