Meskipun pemilihan presiden (pilpres) berikutnya, relatif masih lama, yakni akan berlangsung pada tahun 2024, namun media massa atau media sosial sudah mulai ramai membahasnya. Anggap saja sebagai pemanasan, meskipun nama yang disebut-sebut berpeluang untuk maju sebagai calon presiden (capres), sebetulnya sangat mungkin berubah lagi.
Tapi, bagi kebanyakan partai politik (parpol), jika mau jujur, yang mencemaskan bagi mereka, bukan siapa capres yang bakal dijagokannya, melainkan apakah parpol tersebut punya napas panjang. Ya, barangkali hanya PDI Perjuangan, Gerindra, dan Golkar yang relatif aman. Selebihnya, eksistensinya dalam jangka panjang masih tanda tanya.
Kenapa ketiga partai tersebut disebut relatif aman? Semata-mata karena posisinya yang masuk 3 besar pada pemilu 2019 lalu dengan perolehan suara di atas 10 persen. Padahal, kecuali Golkar, ada pertanyaan besar bagi PDIP dan Gerindra, bagaimana nasibnya kelak bila Megawati dan Prabowo tidak menjadi ketua umum.
Soalnya, ada ketergantungan yang amat kuat terhadap Megawati di PDIP dan terhadap Prabowo di Gerindra. Dan hal itu jugalah yang membuat rapuhnya beberapa partai lain. Sebagai contoh, Partai Hanura langsung terjun bebas begitu Wiranto tidak lagi memimpin.
Kemudian, Partai Demokrat mencoba keluar dari bayang-bayang SBY. Namun, tampuk kepemimpinan bukan diserahkan kepada sosok senior yang punya jam terbang yang tinggi di kancah politik tanah air, tapi justru "dihadiahkan" kepada sang putra mahkota dengan pengalaman yang belum teruji, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Nama AHY dalam seminggu terakhir ini banyak menghiasi media massa. Sayangnya, bukan dalam konteks yang positif, tapi malah menurunkan citranya, sekaligus juga mungkin citra SBY, ayah dari AHY. Soalnya, AHY dianggap oleh sebagian pengamat membawa kisruh internal partai ke kalangan istana, dengan menuding ada pihak luar yang akan mengkudeta kepemimpinan Partai Demokrat.
Jelaslah, begitu SBY tidak lagi memimpin Demokrat, terlihat kekompakan fungsionaris partai langsung terganggu. Makanya, hal ini menjadi pelajaran berharga bagi partai lain, bagaimana merancang suksesi kepemimpinan yang mulus, yang mampu mempertahankan, atau kalau bisa meningkatkan prestasi partai.
Coba kita lihat partai yang lain lagi, Partai Nasdem misalnya. Nasibnya sama saja, karena Nasdem identik dengan Surya Paloh. Sampai sekarang belum terlihat siapa sosok pelapis yang layak menggantikan Surya Paloh.Â
Bila Nasdem terburu-buru memberikan kursi strategis itu pada sang putra mahkota, Prananda Surya Paloh, yang baru berusia 32 tahun, rasanya terlalu prematur. Bisa-bisa nasibnya lebih tragis ketimbang AHY di Partai Demokrat.
Memang, di satu sisi, mengangkat generasi muda sebagai pemimpin partai, seolah-olah menunjukkan keberhasilan dalam regenerasi. Hal ini diharapkan akan merangkul banyak pemilih baru berusia muda atau remaja. Tapi, bila gara-gara itu, partai jadi terpecah dan citranya menjadi negatif, tentu sangat disayangkan.
Maka, jika dugaan bahwa PDIP nantinya akan dipimpin oleh Puan Maharani, langkah yang ditempuh Megawati yang tidak mau buru-buru meninggalkan gelanggang, bisa dipahami. Meskipun begitu, kapan penyerahan estafet kepemimpinan partai dianggap terlalu cepat, atau terlalu lama, sebetulnya tidak punya rumus baku.