Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pemprov DKI Vs Satgas Nasional, Soal Ganjil Genap dan Kluster Angkutan Umum

8 September 2020   00:01 Diperbarui: 8 September 2020   06:03 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumlah warga DKI Jakarta yang positif Covid-19 makin mencemaskan saja. Dalam beberapa hari terakhir ini seperti meminta "harap dimaklumi" bila setiap harinya ditemukan lebih dari 1.000 orang pasien positif baru. Apakah cukup sekadar dimaklumi? Bukan bermaksud menakut-nakuti, bukankah itu menjadi sumber horor bagi yang rajin menyimak perkembangan data pasien positif Covid-19?

Masalahnya, apakah memang banyak warga yang peduli dengan data seperti itu? Kenapa warga ibu kota berlagak biasa-biasa saja, bahkan tidak ngeri berdesak-desakan di angkutan umum seperti yang terlihat di kereta api  commuter line? Bahkan banyak penumpang yang memakai masker secara tidak benar dan saling ngobrol dengan temannya.

Tapi jangan buru-buru berburuk sangka. Sebagian penumpang kereta api sebetulnya merasa khawatir, tapi gak punya pilihan lain gara-gara diberlakukannya lagi kebijakan ganjil genap. Makanya bagi yang punya kendaraan pribadi bernomor polisi genap, pada hari ganjil terpaksa naik angkutan umum. Bila memilih naik taksi, mereka keberatan karena harus merogoh kocek lebih dalam.

Nah, hal inilah yang menimbulkan polemik antara Satgas Penanganan Covid-19 tingkat Nasional dengan Pemprov DKI Jakarta. Awalnya terbetik berita, Kepala Badan Nasional  Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, meminta Pemprov DKI Jakarta melakukan evaluasi terhadap sistem pembatasan kendaraan berdasarkan plat nomor ganjil genap.

Jelas Doni menginginkan sistem ganjil genap tidak perlu diterapkan dulu, karena telah berdampak pada penumpukan penumpang angkutan umum, khususnya kereta api dan bus Transjakarta. Tak heran kalau sekarang telah muncul kluster baru penularan Covid-19, yakni kluster angkutan umum, yang antara lain dapat dilacak pada data pasien yang dirawat di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Menurut Doni, terjadi peningkatan penumpang kereta api sebanyak 3,5  persen dari rata-rata sekitar 400.000 penumpang per hari. Sedangkan pengguna bus Transjakarta meningkat 6 hingga 12 persen sejak penerapan sistem ganjil genap. Kemudian Doni juga menyebutkan, 62 persen dari 944 pasien Covid-19 yang dirawat di Rumah Sakit Darurat Covid-19 di Wisma Atlet,  adalah para pengguna transportasi umum (kompas.com, 3/9/2020).

Sebetulnya, ketika Pemprov DKI Jakarta kembali memberlakukan sistem ganjil genap awal Agustus lalu, sudah banyak suara masyarakat yang ditulis melalui media sosial atau yang diberitakan media massa, yang mencemaskan akan terjadinya lonjakan warga yang terpapar Covid-19 karena sebagian pengguna kendaraan pribadi beralih naik angkutan umum.

Padahal, sebelum itu, pemandangan antrean di stasiun kereta api sudah terlihat panjang pada jam keberangkatan para pekerja ke kantor atau tempat tugas masing-masing. Demikian juga waktu sore atau malam hari sehabis jam kerja. Dengan penambahan penumpang, tentu saja antrean semakin mengular.

Tapi respon Pemprov DKI Jakarta terhadap permintaan Doni Monardo tidak seperti yang diharapkan. Seperti diberitakan detik.com (6/9/2020), Pemprov DKI Jakarta tetap melanjutkan kebijakan ganjil genap di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Keputusan ini diambil dari hasil evaluasi Pemprov DKI Jakarta yang dilakukan tiap hari.

Seperti apa evaluasi harian itu, tidak didapat informasi yang memadai. Tapi soal semakin banyak warga ibu kota yang dari hasil pemeriksaan ternyata terpapar Covid-19, itu fakta yang tak terbantahkan. Dari sekitar seribu orang setiap hari di Jakarta yang terpapar itu, berapa orang yang rutin menumpang angkutan umum, harusnya gampang dilacak, bila misalnya Pemprov DKI meragukan data yang dipaparkan Doni di atas.

Namun Kadishub DKI Jakarta, Syafrin Liputo berkilah bahwa kebijakan ganjil genap harus dilihat sebagai upaya pembatasan gerak warga ke tempat-tempat ramai yang memunculkan penyebaran Covid -19. Bisa jadi bila dilihat dari kemacetan yang sedikit berkurang, pernyataan Syafrin ada benarnya. Tapi sungguh mahal bila taruhannya adalah bertambahnya ribuan warga yang terpapar Covid-19.

Mudah-mudahan saja tidak ada egoisme antar jenjang pemerintahan. Seperti diketahui, Pemprov DKI dicitrakan publik dalam beberapa hal berseberangan dengan kebijakan di level pusat. Ada yang menerjemahkan terlalu jauh sebagai strategi Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta) untuk mencari panggung dengan sasaran pilpres 2024.

Bagaimanapun juga, hal ini membuktikan bahwa memang tidak mudah melakukan koordinasi di negara kita. Sering kebijakan yang bagus di atas kertas, menjadi tidak efektif karena saat diimplementasikan terbentur dengan lemahnya koordinasi antar instansi, termasuk hirarki antar pemerintah pusat-provinsi-kabupaten/kota.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun