Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Peraturan PSBB DKI Masih Lemah, Pelanggar Tak Bisa Dipidanakan

18 September 2020   18:48 Diperbarui: 18 September 2020   18:49 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata mematuhi protokol kesehatan bukan hal gampang bagi sebagian masyarakat. Bahkan, bagi mereka yang berkantor di gedung yang nyaman pun, sekarang sudah menjadi tempat yang rawan bagi penularan Covid-19.

Makanya, dalam ketentuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sekarang diberlakukan kembali di wilayah DKI Jakarta, kantor-kantor hanya diperkenankan menampung para karyawannya maksimal sebanyak 25 persen dari kapasitas normalnya. 

Adapun yang lagi marak dilakukan oleh aparat terkait di Pemprov DKI Jakarta, dan juga diterapkan hampir semua provinsi lain, adalah meningkatkan pengawasan terhadap perilaku masyarakat di ruang publik. Dalam hal ini, di beberapa titik dilakukan razia untuk menemukan warga yang tidak memakai masker, atau memakai masker secara tidak benar.

Menarik memperhatikan liputan yang ditayangkan beberapa stasiun televisi, bagaimana bentuk hukuman yang dijatuhkan terhadap warga yang terjaring razia. Ternyata hukumannya terkesan terserah satpol PP yang melakukan razia saja.

Hukuman yang paling sering terlihat adalah meminta si pelanggar menyapu jalan dengan memakai rompi bertuliskan "pelanggar PSBB". Ada juga yang disuruh membaca Pancasila, menyanyikan Indonesia Raya, melakukan push-up, sampai yang agak aneh seperti diantar ke pemakaman tempat korban Covid-19 dimakamkan, dan ada yang masuk peti mati.

Tentu juga tak sedikit yang dijatuhi hukuman berupa membayar sejumlah uang sebagai denda. Hukuman seperti inilah yang sejalan dengan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang PSBB. Mereka yang punya uang, lebih memilih mengeluarkan uang ketimbang harus menyapu jalan. Tapi yang menyapu jalan pun kelihatannya juga tidak memperlihatkan ekspresi penyesalan.

Artinya, hukuman yang diharapkan akan memberikan efek jera, tampaknya belum berjalan sesuai harapan. Makanya, jumlah warga yang melanggar masih saja relatif banyak. Bahkan, sebagian pelanggar malah dengan emosi menantang para petugas, karena merasa tidak bersalah.

Ada yang merasa tidak bersalah karena ia tinggal dekat lokasi razia, artinya karena ia bepergian sebentar saja dan dekat dari rumah, tak perlu pakai masker. Ada pula yang marah-marah dituduh melanggar karena merasa ia sudah memakai masker, hanya saja masker tersebut dikalungkan di leher. Alasannya ia lagi sesak nafas dan ingin sejenak menghirup udara, yang celakanya kepergok oleh petugas.

Agar menimbulkan efek jera, sebaiknya pelaku pelanggaran PSBB bisa dipidanakan, maksudnya mereka bisa diancam terkena hukuman kurungan. Masalahnya, landasan hukum yang ada sekarang, yakni Pergub Nomor 88 Tahun 2020 tentang PSBB DKI, masih belum memadai. 

Hanya dengan pergub, terhadap mereka yang melanggar tidak bisa diproses secara hukum pidana. Untuk itu perlu dibuatkan Peraturan Daerah (Perda) yang merupakan produk bersama Gubernur dan DPRD.

Seperti ditulis Kompas (18/9/2020), Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya, Teguh P Nugroho, mendorong agar DPRD DKI Jakarta proaktif bersama Pemprov DKI mewujudkan perda PSBB. Jika memakai cara-cara biasa, perlu waktu yang lama untuk menghasilkan sebuah perda.

Tapi sebetulnya, ada persoalan lain yang tak kalah penting. Kepatuhan warga yang rendah dan hukuman yang tak konsisten, sehingga tidak menimbulkan efek jera, bukan semata-mata salah masyarakat. Hal ini merupakan cerminan dari apa yang terjadi pada pemerintah sendiri yang belum berhasil memberikan teladan yang baik bagi masyarakat.

Betapa sering kita melihat para pejabat yang sewaktu mengadakan pertemuan, baik dengan sesama pejabat, dengan warga, atau saat tampil diwawancarai reporter televisi, terlihat kurang menjaga jarak. Sepertinya, kalau sedang berbicara, masker boleh dikalungkan atau dicopot, padahal dengan jarak yang tak terlalu jauh, droplet si pejabat waktu berbicara bisa hinggap pada orang lain.

Jangan heran, saat ini semakin banyak saja pejabat yang terkonfirmasi positif Covid-19. Di lingkungan Pemprov DKI, ada empat gedung perkantoran yang ditutup sejak Kamis hingga Sabtu (19/9/2020), karena adanya pejabat dan pegawai di gedung-gedung tersebut yang terkonfirmasi positif Covid-19. Padahal, beberapa hari lalu, Sekretaris Daerah DKI Jakarta, Saefullah, meninggal dunia karena mengidap Covid-19.

Parahnya, diduga ada instansi yang tidak begitu terbuka mengumumkan para pejabat dan pegawainya yang terpapar virus, sehingga untuk menelusuri mereka yang pernah kontak dengan si pejabat, relatif sulit.

Kesimpulannya, di Jakarta, dan barangkali juga di daerah lain, permasalahan pengendalian Covid-19 bersifat multidimensi, yakni ketidakdisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan, aparat pemerintah yang belum bisa memberi contoh yang baik, dan ketentuan hukum yang belum menimbulkan efek jera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun