Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bukan Covid-19, Rapuhnya Fondasi Keluarga yang Membawa Runtuh

6 September 2020   17:00 Diperbarui: 6 September 2020   18:30 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. lusk-law.com, dimuat validnews.id

Ingat penggalan lirik lagu ini? "Papa gak pulang beibeh, papa gak bawa uang beibeh." Ya, betul, itu lagu yang ngetop sekitar 5 tahun lalu, judulnya "Papa Rock N Roll" milik grup The Dance Company.

Coba kita cermati penggalan lirik lagu tersebut. Seorang istri pasti mengharapkan kepulangan suaminya dari tempatnya bekerja. Ada yang pulang setiap sore atau malam, ada yang pulang setiap Jumat malam untuk kembali ke kota tempatnya bekerja di Minggu malam. 

Ada pula suami yang berkerja di tengah laut (awak kapal, pekerja pengeboran minyak lepas pantai, dan sebagainya), atau di kawasan tambang yang jauh di pelosok, dengan sistem satu bulan bekerja, dua minggu libur, atau sistem lain yang agak mirip.

Tapi terlepas dari kapan pulangnya, dari hasil pekerjaan sang suami, uang akan mengalir sepenuhnya kepada sang istri yang setia menunggu di rumah. Nah, jika ada yang tidak pulang dan tidak bawa uang, ibaratnya istri terkena pukulan beruntun, kesepian sekaligus kekurangan. Tapi memang harus diakui, tak selamanya suami, terutama yang berwiraswasta, termasuk pekerja seni, pulang ke rumah dengan membawa uang.

Tak masalah bila rasa sepi dan kekurangan uang hanya berlangsung beberapa hari saja. Tapi kalau sudah tiga kali lebaran tidak pulang-pulang seperti Bang Toyib dalam lirik sebuah lagu dangdut populer, istri mana yang tahan. Bukankah kesabaran ada batasnya?

Tak pulang sih boleh saja, tapi transfer uang harus lancar. Justru bila suami di rumah terus setelah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), lalu hanya bermalas-malasan di rumah, ini jadi masalah, rumah terasa kayak neraka. Maka, konon gara-gara dampak pandemi Covid-19 yang mem-PHK-kan jutaan pekerja, banyak istri yang melayangkan gugat cerai ke suaminya, sehingga antrean di pengadilan agama pun jadi panjang.

Betapa serba salahnya kondisi rumah tangga. Suami tidak pulang-pulang, salah. Suami di rumah terus, salah. Suami banyak uang, salah, karena ada yang nikah lagi diam-diam. Suami tidak punya uang, lebih salah lagi, mau makan apa anak istri?

Ngomong-ngomong, tepatkah menyalahkan Covid-19 melihat fenomena panjangnya antrean gugat cerai di beberapa kantor pengadilan agama? Rasanya tidak tepat bila Covid-19 dibawa-bawa. Fondasi keluarga yang menjadi faktor penentu, apakah sebuah rumah tangga dibangun di atas fondasi yang kokoh atau yang rapuh.

Fondasi itu ada kaitannya dengan niat awal saat sepasang pria dan wanita memutuskan untuk menikah. Menikahi seseorang itu, kata penceramah agama, bisa bermotifkan empat hal, yakni melihat kekayaannya, kegagahan atau kecantikannya, keturunannya, atau karena ketaatannya pada agama.

Idealnya, pasangan rumah tangga memiliki keempat hal tersebut, cukup harta, menawan penampilannya, keturunan dari orang terpandang, dan juga menjadi suami yang saleh serta istri yang salehah.

Tapi kondisi ideal tersebut mungkin lebih banyak terdapat dalam film dan novel, bukan dalam dunia nyata. Maka yang paling penting dan mutlak perlu untuk terciptanya fondasi yang kokoh adalah pernikahan karena niat untuk menyempurnakan ibadah, membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah, yang maksudnya tenang, tenteram, cinta, harapan, dan penuh kasih sayang.

Keluarga yang sakinah akan melahirkan anak-anak yang saleh dan salehah sebagai investasi buat akhirat kelak, karena dari doa anak yang saleh akan mengalir pahala bagi kedua orang tuanya, meskipun orang tua itu sudah meninggal.

Meskipun suami menjadi "imam" dalam arti pemimpin rumah tangga, prinsip keadilan dan kesetaraan menjadi hal penting yang memperkokoh fondasi rumah tangga. Penjabarannya adalah serba saling, seperti saling menghargai, saling pengertian, saling memegang teguh komitmen perkawinan, saling menyayangi dengan tulus, dan sebagainya.

Jika fondasi sudah kokoh, badai pandemi justru membawa hikmah, menggali ide baru yang bersifat terobosan agar dapur tetap berasap. Bukankah generasi yang lebih terdahulu yang hidup di zaman awal kemerdekaan dan di sekitar tahun 1965, banyak yang sudah membuktikan ketangguhannya.

Hanya dengan memakan nasi jagung dan bulgur, generasi terdahulu berhasil mencetak generasi yang lebih mapan, dalam arti lebih sukses secara ekonomi. Jika sekarang ekonomi kembali terganggu dihantam badai pandemi, tak selayaknya membuat rumah tangga jadi terpecah berkeping-keping.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun