Ketika DPP PDIP mengumumkan dukungannya kepada kader Partai Demokrat, Mulyadi, yang dipasangkan  dengan kader PAN, Ali Mukhni sebagai bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumbar yang akan bertarung pada pilkada serentak 9 Desember 2020 mendatang, Megawati Soekarnoputri mengungkapkan kegusarannya, mengapa PDIP susah menang di Sumbar?
PDIP boleh saja menjadi partai terbesar secara nasional, namun untuk Sumbar hanya dianggap partai kecil, karenanya tidak bisa mencalonkan kadernya sendiri di pilgub, harus nebeng kader partai lain. Tentu PDIP punya kalkulasi sendiri kenapa mendukung Mulyadi yang anggota DPR RI dan Ali Mukhni, Bupati Padang Pariaman selama dua periode.
Lawan tangguh bagi Mulyadi adalah calon yang diusung Partai Gerindra, pemenang pemilu 2019 di Sumbar, yakni Nasrul Abit, yang sekarang menjabat Wakil Gubernur Sumbar. Partai yang juga sangat kuat di Sumbar adalah PKS, yang berhasil menempatkan kadernya Irwan Prayitno sebagai orang nomor satu di ranah Minang itu selama dua periode, karenanya tidak boleh mencalonkan diri lagi.
Namun demikian, PKS telah menetapkan mengusung Wali Kota Padang saat ini, yang juga menjabat selama dua periode, Mahyeldi Ansharullah. Sungguh tidak gampang bagi Mulyadi untuk mengalahkan dua figur yang sangat populer di Sumbar, yakni Nasrul Abit dan Mahyeldi.
Kembali ke pernyataan Megawati di atas, menarik untuk dicermati lebih lanjut. Dilansir dari detik.com (2/9/2020), Megawati tidak habis pikir, kenapa rakyat Sumbar belum menyukai PDIP, padahal dulu banyak sekali tokoh nasionalis asal Sumbar, termasuk Bung Hatta, yang menjadi proklamator kemerdekaan RI mendampingi Bung Karno.
Meskipun begitu, dari dulu Sumbar sebetulnya relatif tidak berubah, merupakan daerah "hijau", dalam arti mayoritas masyarakatnya dalam menentukan pilihan politik, cenderung memilih partai berbasiskan agama. Bahkan, alirannya pun gampang terbaca, lebih dekat ke Muhammadiyah, ketimbang NU.
Muhammadiyah dan NU memang bukan parpol, tapi aspirasi politik warga Muhammadiyah lebih mengarah ke PAN dan PKS, sedangkan warga NU ke PKB dan PPP. Maka kalau PDIP hanya penghuni papan bawah di Sumbar, memang sudah diduga. Pada pemilu pertama tahun 1955, warga Sumbar lebih menjagokan Masjumi (partai Islam) dibanding dengan PNI (nasionalis, seperti PDIP sekarang).
Kalau melihat individu tertentu yang menjadi pelaku sejarah, Sumbar banyak melahirkan tokoh besar bukan karena berbasiskan agama, tapi lebih karena pemikiran kritis dan jiwa nasionalisnya, seperi Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Tapi partai yang didirikan Sutan Sjahrir (Partai Sosialis Indonesia, disingkat PSI), dan yang didirikan Tan Malaka (Partai Murba) sedikit sekali pengikutnya di Sumbar.
Berikutnya, selama orde baru, sekiranya pemilu berlangsung secara fair, diperkirakan PPP menang mudah di Sumbar, bukan Golkar. Sejak reformasi bergulir, karena terlalu banyak partai, tidak ada lagi partai yang sangat dominan. Tapi partai berbasis agama, yakni PAN, PKS, dan PPP, serta partai nasionalis yang dicitrakan mampu beraksi secara religius, yakni Gerindra, Golkar dan Demokrat, konsisten mengirimkan wakilnya ke DPR RI.
Adapun PDIP Sumbar tidak mampu menempatkan wakilnya di DPR RI secara konsisten. Hanya pada pemilu 1999 dan 2014 ada wakilnya, namun kosong berdasarkan hasil pemilu 2004, 2009, dan 2019. Tentu bukan berarti PDIP tidak punya harapan mencuri hati warga Sumbar, mengingat Gerindra yang juga partai nasionalis cukup sukses di sana.Â
Sekiranya pendekatan yang dipakai lebih bersahabat dengan simbol atau tata cara keagamaan, ada peluang PDIP akan mendulang suara lebih banyak ketimbang yang didapat pada masa lalu. Bukankah PDIP sudah punya obderbouw Baitul Muslimin untuk menyasar kalangan Islam yang relatif taat? Hanya saja sampai sekarang Baitul Muslimin kurang bergaung.