Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Setelah Bogor dan Depok, Perlukah Jam Malam di Jakarta?

1 September 2020   17:14 Diperbarui: 3 September 2020   04:10 1587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kegiatan yang masih terjadi ketika malam. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Jumlah pasien positif Covid-19 di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) melonjak luar biasa. Khusus untuk Provinsi DKI Jakarta saja, dalam seminggu terakhir ini setiap harinya bertambah sekitar 800 orang pasien baru. Bahkan pada dua hari terakhir, tanggal 30 dan 31 Agustus 2020, masing-masing bertambah 1.094 dan 1.049 orang.

Untuk Provinsi Jawa Barat, penderita terbanyak berada di Bogor, Depok, dan Bekasi. Sedangkan bagi Provinsi Banten, daerah Tangerang Raya yang menjadi daerah paling rawan. 

Satu hal yang pasti, penanganan pencegahan pandemi Covid-19 di Jabodetabek, harus seiring sejalan, meskipun secara administrasi pemerintahan, kewenangannya dipegang oleh 3 orang gubernur.

Maka sungguh bijak Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang mengatakan pada Wali Kota Depok, Wali Kota Bogor, Bupati Bogor, Waki Kota Bekasi dan Bupati Bekasi, untuk menyinkronkan kebijakannya dengan yang diambil oleh Pemprov DKI Jakarta, meskipun ada kemungkinan berbeda dengan kebijakan Pemprov Jawa Barat.

Seperti dilansir dari kompas.com (26/5/2020),  Pemkot Bogor menyepakati untuk menyesuaikan masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mengikuti wilayah DKI Jakarta hingga 4 Juni 2020. 

Hal ini sekaligus berarti tidak merujuk pada keputusan Gubernur Jawa Barat yang memperpanjang masa PSBB hanya sampai dengan tanggal 29 Mei 2020.

Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto sangat menyadari bahwa Kota Bogor sudah terintegrasi dengan Jakarta dan sekitarnya. Dan memang begitulah faktanya, pada dasarnya aktivitas di Jabodetabek tidak terpisahkan lagi. Mereka yang bekerja di Jakarta sebagian besar bertempat tinggal di Bodetabek.

Maka setiap subuh dan pagi, bagaikan laron, arus lalu lintas sangat padat dari berbagai lokasi di Bodetabek menuju Jakarta, termasuk yang menggunakan transportasi publik seperti kereta api dan bus. Demikian pula pada sore dan malam hari, giliran dari Jakarta arus lalu lintas mengarah berpencar ke Bodetabek.

Nah, masalahnya sekarang, sinkronisasi kebijakan pencegahan pandemi Covid-19 di Jabodetabek mulai dipertanyakan warga. 

Bila selama ini Bodetabek mengikuti Jakarta, sekarang malah ada yang mendahului Jakarta. Itulah yang terjadi di Bogor yang menerapkan kebijakan jam malam mulai pukul 21.00 WIB sejak 29 Agustus 2020 lalu.

Kemudian, dua hari setelah itu, giliran Depok yang mengambil langkah serupa. Bahkan Depok menerapkan jam malam lebih awal, yakni mulai pukul 20.00 WIB. Khusus di tempat publik seperti mal, supermarket, minimarket, toko, rumah makan, kafe, hanya boleh beroperasi hingga pukul 18.00 WIB.

Tak urung kebijakan jam malam tersebut dikeluhkan oleh sejumlah kalangan, terutama pedagang makanan atau pedagang kaki lima yang justru baru menggelar dagangannya mulai sore hari. Jika warga tidak boleh keluar rumah pada malam hari, tentu pedagang tersebut akan gulung tikar.

Di lain pihak, Jakarta sendiri belum menetapkan jam malam. Bayangkan repotnya warga Depok yang bekerja di Jakarta dan pulang pada malam hari. 

Memang katanya dibolehkan, tapi harus bersedia dihentikan petugas untuk menunjukkan KTP dan kartu pengenal yang membuktikan mereka bekerja di Jakarta.

Tapi tetap saja kurang nyaman bila berhadapan dengan petugas yang lagi melakukan razia. Apalagi bagi yang bekerja di Jakarta tapi pada perusahaan kecil yang tidak ada kartu karyawannya. Termasuk pula mereka yang berdagang di Jakarta, tanda pengenalnya hanya KTP.

Apakah kebijakan jam malam bisa efektif mencegah penularan Covid-19? Seorang pakar dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane, mengatakan penerapan jam malam tidak akan efektif menurunkan kasus Covid-19, karena aktivitas masyarakat banyak terjadi dari pagi hingga siang hari (cnnindonesia.com, 31/8/2020).

Pernyataan tersebut tentu boleh saja ditafsirkan, bila memang mau membatasi pergerakan masyarakat, ya sebaiknya kembali pada PSBB, di mana pembatasan berlangsung sepanjang siang dan malam. 

Bila siang hari warga masih berkeliaran, lalu malamnya berdiam di rumah, sangat mungkin penularan tetap terjadi.

Sejauh ini belum terbetik kabar kalau Jakarta akan mengikuti jejak Bogor dan Depok. Sekadar berandai-andai saja, jika itu terjadi, pasti akan sangat memukul banyak pihak, terutama kalangan dunia usaha. Aktivitas perekonomian di berbagai tempat yang tersebar di lima wilayah kota Jakarta, boleh dikatakan hidup selama 24 jam.

Pada akhirnya, bukan soal jam malam yang menentukan, tapi tingkat kepatuhan warga dalam mematuhi protokol kesehatan serta keefektifan pengawasan oleh aparat lah yang bisa menjamin keberhasilan pengendalian Covid-19 di negara kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun