Yang dituntut sebetulnya adalah bagiamana para content creator punya rasa tanggung jawab terhadap publik atas kebebasan berekspresi yang dimilikinya. Bagaimanapun juga, tayangannya akan mempengaruhi pola pikir penonton.Â
Bayangkan kalau pesan yang disampaikannya lebih banyak muatan pornografi, kekerasan, pelecehan, ajaran radikalisme, ujaran kebencian, kebohongan publik, dan hal-hal lain yang tidak baik untuk membangun mental anak bangsa.
Bahwa motif mencari keuntungan sebagai hal yang utama bagi pemilik akun media sosial yang bisa dimonetisasi, sebetulnya sah-sah saja. Tapi  tentu tetap menggunakan etika publik, jangan sampai menjajal tontonan yang tidak mendidik, yang mengorbankan masa depan bangsa karena generasi muda terdegradasi mentalnya.
Dari referensi yang ada, belum didapat informasi resmi, apakah sudah dibentuk asosiasi para content creator di Indonesia. Yang ada adalah Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), yang cakupannya mungkin terlalu luas. Asosiasi lah yang diminta proaktif membuat standar konten yang baik untuk menjadi panduan, sekaligus mengawasi konten yang beredar. Tak harus menunggu UU-nya terbit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H