Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengejutkan, Teroris Christchurch Menyesal karena Korban Kurang Banyak

26 Agustus 2020   17:00 Diperbarui: 26 Agustus 2020   17:33 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. AFP via daylimirror, dimuat kompas.com

Masih ingat dengan tindakan terorisme yang terjadi di Christchurch, Selandia Baru? Kalau lupa, wajar saja, karena terlalu banyak berita bersliweran di sekiar kita. Bahkan berita di seputar terorisme juga silih berganti, sehingga begitu muncul berita baru, kejadian sebelumnya jadi terlupakan.

Sekadar mengingatkan kembali, peristiwa di Selandia Baru dimaksud terjadi pada pertengahan Maret 2019. Ketika itu umat Islam di kota Christchurch lagi melakukan ibadah salat Jumat. Jumlah korban meninggal adalah 50 orang yang berada di dua buah masjid. Modusnya adalah dengan penembakan yang membabi buta, sehingga bisa juga dikatakan sebagai pembantaian.

Pelakunya yang langsung tertangkap setelah peristiwa yang menggemparkan negeri yang biasanya sangat aman itu adalah seorang pemuda berusia 28 tahun, bernama Brenton Tarrant. Si pelaku ini termasuk kelompok yang menginginkan supremasi kulit putih dan di beberapa media setempat disebut sebagai teroris ultrakanan pertama di negeri Kiwi itu.

Respon dari Perdana Menteri (PM) Selandia Baru sungguh simpatik dan dengan ekspresif menunjukkan solidaritasnya terhadap komunitas muslim di Selandia Baru. Dengan memakai penutup kepala (PM Selandia Baru adalah seorang wanita, Jacinda Ardern), foto-foto sang PM merangkul para wanita muslim banyak beredar di media massa, dan menuai pujian dari dunia internasional.

Yang jelas, bila selama ini aksi teroris sering diidentikkan dengan para pelaku yang beragama Islam aliran tertentu yang dinilai tergolong fanatik garis keras, maka kenyataannya terorisme bisa dilakukan oleh penganut agama apa saja. Justru di Selandia Baru, komunitas Islam menjadi sasaran.

Maka bila ada islamophobia (ketakutan atau kecurigaan yang teramat sangat pada orang Islam) di negara-negara barat, mungkin itu akibat stigma yang sering dilekatkan pada aksi terorisme yang pelakunya adalah orang Islam. Jangan kaget, bila akhirnya semua yang berbau Islam dicurigai.

Nah, kembali ke soal proses penanganan kasus di Selandia Baru, berita terbaru adalah telah dimulainya persidangan terhadap Brenton Tarrant, pada Senin (24/8/2020) lalu. 

Cukup mengejutkan juga saat jaksa Barnaby Hawes membacakan pengakuan kesaksian terdakwa dari hasil wawancara mereka. Hawes mengatakan bahwa Tarrant menyesal atas aksinya. Bukan karena korban yang banyak. Justru terdakwa merasa sayang karena korbannya kurang banyak, seperti dikutip dari jawapos.com (26/8/2020).

Hawes juga memaparkan bahwa sebenarnya Tarrant sudah menyiapkan bahan bakar untuk membakar masjid. Dia juga berencana menyatroni satu masjid lagi di Ashburton. Semua rencana itu gagal, karena polisi keburu menangkapnya.

Tidak dijelaskan memangnya berapa orang target pembunuhan yang diinginkan Tarrant. Tapi kalau saja semua rencana Tarrant bisa terlaksana, bukan tidak mungkin jumlah korban meningkat beberapa kali lipat. Hitung saja jamaah di tiga buah masjid, mungkin kalau dijumlahkan, lebih dari seribu orang.

Kebencian Tarrant terhadap saudara-saudara muslim di negerinya sendiri, tidak berdasar, karena sebelum itu di Selandia Baru tidak ada aksi kekerasan atau permusuhan yang dilakukan komunitas muslim terhadap komunitas lainnya. 

Namun demikian, kalau boleh menyebutkan apa hikmah dari aksi terorisme itu, adalah makin bersatunya warga Selandia Baru memerangi aksi teror. Mereka bersatu tanpa melihat sekat-sekat agama. Yang dilawan bukan penganut agama tertentu, tapi aksi terorisme.

Tentu bagi kita di Indonesia, persatuan pulalah yang akan membentengi negeri kita tercinta ini. Kita pernah mengalami peristiwa yang tak kalah tragis di Ambon dan Poso. Pulau Bali pernah pula menjadi sasaran peledakan bom yang terkenal dengan peristiwa Bom Bali 1 dan Bom Bali 2, karena memang terjadi dua kali.

Kita tak mau kecolongan lagi, maka sekiranya ada bibit-bibit kebencian bernuansa SARA, jangan diberi tempat, agar bibit tersebut layu sebelum berkembang. Sekali lagi, kita yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat, dan agama ini, semuanya bersaudara dan harus dipelihara selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun