Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Usaha Ultramikro, Banyak Terlihat tapi Tak Tercatat

26 Agustus 2020   00:07 Diperbarui: 26 Agustus 2020   05:36 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. djpb.kemenkeu.go.id

Kalau kita berdiskusi tentang usaha kecil, rasanya semua kita sudah paham apa yang dimaksud, hanya berdasarkan istilah yang dipakai. Tapi ternyata ada yang lebih kecil lagi dibandingkan dengan usaha kecil, yang disebut dengan usaha mikro.

Baik usaha kecil maupun usaha mikro, sudah banyak yang tercatat oleh berbagai instansi atau lembaga swadaya masyarakat yang membina pelaku UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah). Bahkan, sebuah bank pemerintah sangat dominan dalam mengucurkan kredit kepada pengusaha mikro. Sayangnya data antar instansi masih berbeda-beda, sehingga akurasinya perlu diteliti lagi.

Nah, sekarang adalagi istilah usaha ultramikro untuk skala usaha yang lebih rendah dari usaha mikro. Artinya, usaha yang masuk kelompok ultramikro betul-betul sudah berada di lapisan terbawah.

Kebetulan headline Kompas (25/8/2020) mengangkat topik usaha ultramikro. Inilah kelompok usaha yang kesulitan berkembang dan naik kelas karena kerap luput dari program bantuan dan pemberdayaan pemerintah. Padahal, potensi mereka mendorong perekonomian sangat besar bila diberdayakan, karena jumlah pelaku usaha ultramikro sangat masif.

Lebih lanjut disebutkan bahwa ciri-ciri usaha ultramikro adalah usaha yang dikerjakan hanya oleh satu orang dengan modal Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. Mereka tergolong masyarakat berpendapatan rendah atau miskin. Kelompok ini meliputi, antara lain, penjual asongan, pedagang kaki lima, warung kecil, bakul pasar, dan pekerja informal lainnya dengan pemasukan harian. 

Bagi yang sering berjalan kaki menyusuri trotoar di jalan protokol ibu kota akan sering melihat pedagang kopi instan dalam sasetan yang berkeliling pakai sepeda dan membawa termos air panas. Demikian pula pedagang yang nongkrong di pojok trotoar menjajakan cemilan di pagi hari dengan harapan dibeli oleh para karyawan yang baru turun bus sebelum berjalan kaki ke kantor masing-masing.

Adapun pengusaha warung nasi sederhana ala warteg, jelas bukan lagi masuk ultramikro, karena rata-rata sudah punya anak buah yang menjadi pelayan, dan modalnya diperkirakan lebih dari Rp 2 juta. Sekelas warteg sepertinya sudah tergolong usaha mikro atau kecil.

Berbeda dengan usaha ultramikro, usaha mikro dan kecil sudah lumayan banyak yang mendapat fasilitas kredit dari bank, khususnya bank milik pemerintah yang menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang bunganya relatif rendah. Jadi, para pelaku usaha mikro dan kecil seharusnya sudah terdata dengan baik dan sudah menerima bantuan stimulus ekonomi dari pemerintah.

Jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik per Februari 2020, jumlah pelaku usaha ultramikro dan informal mencapai 70 juta orang atau  56,5 persen dari total tenaga kerja di Indonesia. Jelas angka yang sangat besar.

Sayangnya, karena tidak punya lokasi usaha yang permanen, malah sering diusir oleh Satpol PP, dan berkemungkinan besar masih ber-KTP desa asal, maka para pelaku usaha ultramikro yang berada di kota perantauannya, tidak tercatat dalam database penerima bantuan sosial.

Soalnya, pelaku usaha ultramikro ini ibarat antara ada dan tiada, ada di mana-mana tapi juga bisa tidak ada di mana-mana. Maksudnya, bagi mereka yang berusaha di ibu kota, tidak diakui sebagai warga ibu kota, namun di desa asalnya pun, karena tidak tinggal di sana, juga tidak tercatat.

Ketidakjelasan identitas diri tersebutlah yang menjadi penghalang, bukan karena pemerintah tidak ingin membantu. Paahal, identitas yang akurat menjadi persayaratan untuk bisa membuka rekening di sebuah bank, dan pemerintah sendiri menyalurkan bantuan melalui rekening bank, tidak diserahkan secara tunai yang rawan disunat oleh aparat.

Begitulah nasib pelaku usaha ultramikro. Jika tidak ada langkah terobosan, dipastikan mereka semakin terpuruk. Bayangkan, saat belum terjadi pandemi Covid- 19 saja, kehidupan mereka sehari-hari sudah cukup sulit, sekarang ditambah lagi dengan pandemi. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga.

Seperti apa langkah terobosan dimaksud? Petugas yang melakukan pendataan dalam rangka pemberian bantuan, harus aktif menjemput bola. Tak usah persoalkan KTP-nya dari daerah mana. 

Penyaluran bantuan kepada pelalu ultramikro sebaiknya diberikan dalam bentuk tunai. Tentu diperlukan sistem yang jelas dan transparan sehingga dapat dipertanggungjawabkan. 

Bagaimanapun, pelaku usaha ultramikro berhak mendapat bantuan dan pemberdayaan dari pemerintah. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa usaha ultramikro telah menjadi penyelamat perekonomian di negara kita, karena seperti telah disinggung di atas, jumlah pelaku usahanya sangat banyak. Bila dibiarkan sekarat, akan menambah jumlah pengangguran baru, yang pada gilirannya menambah beban sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun