Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Resesi yang Berkelindan dengan Deflasi, Menabung atau Belanja Jadi Dilema

27 Agustus 2020   10:10 Diperbarui: 28 Agustus 2020   17:32 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Resesi ekonomi berkemungkinan besar akan segera kita hadapi, bila misalnya pada kuartal III-2020 ini, pertumbuhan ekonomi nasional kembali negatif sebagaimana yang dialami pada kuartal II-2020. 

Mengacu pada prediksi beberapa pengamat ekonomi, tampaknya pada kuartal III ini, pertumbuhan ekonomi kita masih negatif, meskipun negatifnya tidak sebesar negatif selama kuartal II yang sebesar 5,32 persen.

Seperti yang pernah dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani, apabila selama dua kuartal secara berturut-turut terjadi pertumbuhan ekonomi yang negatif, maka itu berarti kita sudah memasuki apa yang disebut dengan resesi ekonomi. 

Maka bila kita sebut resesi sudah di depan mata, bukanlah hal yang berlebihan. Justru sudah seharusnya semua pihak, termasuk masyarakat, melakukan langkah antisipasi.

Hanya saja, ada yang berbeda pada resesi kita di masa pandemi Covid-19 ini. Berdasarkan pengalaman pada masa lalu, seperti saat krisis moneter 1998, salah satu ciri-cirinya adalah terjadinya inflasi yang sangat tinggi. 

Ketika itu suku bunga perbankan nasional pernah mencapai 70 persen setahun. Tentu saja kenaikan suku bunga yang gila-gilaan itu agar nilai uang dalam sistem perbankan tidak tergerus oleh inflasi.

Nah, jika memang terjadi resesi sebentar lagi, resesinya bukan lagi dicirikan oleh inflasi yang tinggi, namun malah kebalikannya, yakni deflasi. Seperti ditulis Agus Sugiarto (Kompas, 25/8/2020), pada Juli 2020 terjadi deflasi sebesar 0,10 persen. Deflasi ini terjadi juga di beberapa negara tetangga, yakni Singapura, Malaysia dan Filipina.

Deflasi tersebut gampang dilihat dari turunnya harga barang dan jasa, sebagai akibat dari kontraksi suplai uang dan seretnya pengucuran kredit dari perbankan kepada dunia usaha. 

Berdasarkan laporan keuangan beberapa bank papan atas per 30 Juni 2020, terbukti bahwa laju pertumbuhan kredit (artinya uang keluar dari bank ke masyarakat), lebih rendah daripada laju pertumbuhan simpanan masyarakat (artinya uang masuk ke bank dari masyarakat).

Dengan berkurangnya suplai uang dan kredit, membuat tingkat konsumsi rumah tangga dan juga tingkat investasi mengalami stagnasi. Jika saja pada bulan-bulan berikutnya masih terjadi deflasi, apalagi ditambah dengan resesi, maka pasti akan sangat mengganggu keberhasilan program pemulihan ekonomi nasional.

Bagi mereka yang rutin mengamati pergerakan harga properti, terutama rumah yang sudah dipakai (secondary), tentu tahu sekarang harganya lagi turun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun