Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasionalisme Itu Sederhana, Tidak Sekadar Memasang Bendera

17 Agustus 2020   14:48 Diperbarui: 17 Agustus 2020   15:57 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. antaranews.com

Kalau ukuran rasa nasionalisme seseorang dilihat dari simbol-simbol yang dipakai, jelas hampir semua kita telah mempunyainya. Cobalah berkeliling dari kampung ke kampung, dari gang ke gang, di halaman setiap rumah, pasti saat ini lagi terpasang bendera merah putih.

Perhatikan pula mobil yang lalu lalang di jalan raya. Banyak yang memasang bendera merah putih kecil yang ditaruh di kaca depan mobil sebagai penghias. Bisa pula dipasang dekat kaca spion sehingga melambai-lambai tertiup angin.

Lewatlah di depan gedung perkantoran, baik kantor instansi pemerintah, maupun perusahaan swasta, pasti hiasan dalam berbagai bentuk dengan warna kombinasi merah dan putih dalam ukuran besar, akan memperindah pemandangan.

Masuklah ke berbagai mal, dekorasi merah putihnya semakin kental dan ditingkahi merdunya lagu-lagu perjuangan bangsa Indonesia. Jiwa kita pun ikut bersemangat menikmati lagu-lagu itu, bahkan tanpa sadar ikut menyenandungkannya.

Jika saja tidak lagi pandemi Covid-19, tentu ramai sekali anak-anak, ibu-ibu, dan bapak-bapak yang ikut berbagai perlombaan yang lucu-lucu, dalam rangka memeriahkan peringatan hari kemerdekaan kita.  Boleh dikatakan setiap RT mengadakan acara seperti ini.

Atau tidak jarang pula dilakukan acara yang lebih atraktif. Ada yang melakukan pengibaran bendera merah putih sambil menyelam di dasar lautan, sambil  memberi makan ikan lumba-lumba di obyek wisata. Ada yang mendaki gunung dan mengibarkan bendera di puncak tertinggi, ada juga yang  dilakukan sambil terjun payung. 

Jika saja tidak lagi pandemi Covid-19, tentu digelar beberapa event olahraga yang memepertemukan atlet Indonesia berhadapat dengan atlet negara lain. 

Pada cabang olahraga populer seperti bulutangkis dan sepak bola, lihatlah betapa bersemangatnya masyarakat kita mendukung tim Indonesia, baik yang datang ke stadion, maupun yang menyaksikan dari layar kaca.

Tidak sedikit di antara kita, juga di antara para atlet kita, yang meneteskan air mata, terharu saat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tak pelak lagi, itu jelas pertanda betapa cintanya kita kepada negeri sendiri.

Namun demikian, dari indikator berbagai simbol dan aktivitas yang kasat mata di atas, belumlah mencukupi sebagai bukti bahwa kita sudah mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi. Bukannya simbol-simbol itu tidak penting, tapi sekali lagi, masih belum cukup.

Kita membutuhkan yang lebih dari itu. Tapi sebetulnya tidak sulit-sulit amat untuk melakukannya. Kita harus memandang semua rakyat Indonesia sebagai manusia yang setara. Yang merasa masuk kelompok mayoritas, tidak lagi menganggap kelompok minoratis sebagai orang lain. Segelintir minoritas yang berkuasa atau yang berkelimpahan harta jangan pula memandang rendah mayoritas yang miskin.

Ketika orang kota tidak memandang rendah orang desa, ketika itulah rasa nasionalisme mulai bersemi. Juga ketika saudara-saudara kita dari daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), termasuk pula yang berada di pedalaman, yang belum tercatat dalam administrasi pemerintah, kita pandang sebagai saudara-saudara kita sendiri yang layak berdiri setara dengan kita.

Rasa nasionalisme kita akan semakin diuji lagi ketika kita dalam bekerja tidak tergoda utuk korupsi. Kita mampu berkarya secara produktif dan berkualitas, sesuai profesi masing-masing. Antar profesi saling menghargai, bahkan termasuk antara majikan dengan asisten rumah tangga yang dipekerjakannya. Toh orang kecil pun punya kontribusi bagi kesuksesan orang besar.

Pengusaha tidak rakus membabat tanah pertanian dikonversi untuk berbagai proyek raksasanya, setelah berkolusi dengan pejabat yang memuluskan izin peralihan peruntukan tanah. Jangan pula melakukan penggusuran lahan di perkampungan padat penduduk, demi membangun berbagai gedung megah sekaligus meminggirkan masyarakat kecil.

Ketika kita mematuhi semua ketentuan yang berlaku, termasuk tertib mematuhi protokol kesehatan ketika berada di ruang publik, itu sudah berarti banyak dalam membangun rasa nasionalisme.

Kita tidak melakukan tindak kekerasan terhadap siapaun, termasuk pada keluarga sendiri, wanita dan anak-anak, juga tidak melakukan kekerasan seksual. Tidak terlibat narkoba, perdagangan manusia, merayu saudara sekampung untuk jadi TKW dengan iming-iming palsu, yang akhirnya malah menjerumuskan yang dibantu untuk bekerja di bidang prostitusi.

Tidak menghujat dan tidak melalukan ujaran kebencian kepada saudara kita yang pilihan politiknya berbeda, yang agamanya berbeda, yang sukunya berbeda, juga sangat diperlukan saat ini.

Nasionalisme itu sederhana, kita cukup menjadi warga negara yang baik saja, mematuhi peraturan yang berlaku, melaksanakan semua kewajiban kita, termasuk taat dalam membayar pajak. 

Pemerintah pun harus pula melaksanakan kewajibannya, memberikan apa yang menjadi hak rakyat, jangan malah memeras rakyat. Sudahkah kita jadi seorang nasionalis yang baik?

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun