Terlepas dari pernyataannya yang cenderung kontroversial, duet Fadli Zon dan Fahri Hamzah pada jajaran pimpinan DPR periode 2014-2019, telah memberi warna tersendiri pada lembaga legislatif ketika itu. Bandingkan dengan jajaran pimpinan DPR periode sekarang, yang terkesan adem ayem saja, seperti kurang greget.
Berita terbaru tentang dua sosok dengan nama mirip, sama-sama berhuruf awal F itu, adalah berkaitan dengan bakal diberikannya penghargaan berupa bintang tanda jasa.Â
Presiden Joko Widodo diagendakan akan memberikan Bintang Mahaputera Nararya kepada Fadli dan Fahri dalam rangka memperingati hari ulang tahun ke-75 Republik Indonesia.
Masalahnya, ada kesan kuat bahwa selama ini Fadli dan Fahri adalah "lawan" dari pemerintah yang berkuasa. Apapun kebijakan pemerintah atau imlementasi dari kebijakan itu, di mata Fadli dan Fahri seolah-olah salah semua. Mereka berdua juga laris diundang menjadi narasumber acara talkshow "Indonesia Lawyers Club" (ILC) di salah satu stasiun televisi, acara yang terkenal kritis pada pemerintah.
Maka beragam penafsiran pun sah-sah saja atas penganugerahan bintang tanda jasa bagi Fadli dan Fahri. Ada yang menilai hal ini sebagai cara pemerintah dalam rangka "menjinakkan" duo F itu. Tapi tentu tidak sesederhana itu persoalannya.Â
Misalnya, seorang Pramono Anung yang menjabat sebagai Sekretaris Kabinet, menyatakan respeknya pada Fadli dan Fahri. Dilansir dari kompas.com (4/3/2020), Pramono menyatakan bahwa kritik dari pihak oposisi merupakan vitamin yang membuat dinamika politik menjadi bergairah.
Lebih lanjut Pramono mengatakan bahwa sosok Fadli dan Fahri dirindukannya karena dinamika politik di Indonesia sudah terlampau stabil dengan pemerintah menguasai 74 persen dukungan di Parlemen. Bayangkan kalau tidak ada yang melakukan kritik, pemerintah bisa-bisa kurang bersemangat, karena tidak dapat "vitamin".
Adapun bagi Fadli dan Fahri, menerima penghargaan dari negara juga merupakan justifiksi bahwa kritiknya selama ini bukan untuk memecah belah bangsa, tapi semata-mata demi upaya perbaikan.Â
Hanya saja, ada dugaan akan banyak orang yang kecewa gara-gara Fadli dan Fahri diberikan bintang tanda jasa. Pendukung fanatik Jokowi bisa kecewa berat, tidak ikhlas kenapa pemerintah mengakomodir orang yang sering "menyerang" Jokowi, dan malah diberi penghargaan.
Sedangkan bagi para pendukung fanatik Fadli dan Fahri pun juga tidak kalah kecewanya. Bisa-bisa sosok idolanya itu dianggap telah masuk perangkap kekuasaan. Makanya kelompok ini cenderung agar Fadli dan Fahri menolak menerima penghargaan tersebut.
Padahal, menolak penghargaan, mungkin terdengar gagah perkasa. Bahkan mungkin akan mempertegas citra mereka berdua sebagai tokoh yang idealis dan konsisten, tentu saja di mata para pendukungnya.Â
Namun menolak penghargaan akan menjadi hal yang menyakitkan bagi pemerintah. Sesuai penjelasan dari Menko Polhukam Mahfud MD, penghargaan kepada Fadli dan Fahri telah sesuai dengan peraturan yang berlaku (tribunnews.com, 11/8/2020). Artinya tentu sudah melewati tahapan penilaian oleh tim khusus.Â
Fadli dan Fahri sendiri sudah bisa dipastikan akan menerima penghargaan tersebut. Seperti yang ditulis tribunnews.com di atas, Fadli memberikan tanggapan yang positif dengan menyebutkan hal itu sebagai sebuah kehormatan dari negara.
Memang, kalau mengacu pada pemberitaan di sejumlah media massa, Fadli dan Fahri dianggap berjasa dalam menuntaskan tugasnya sebagai Wakil Ketua DPR.Â
Tapi perlu pula diingat, saat reformasi 1998, Fadli dan Fahri juga berada di garis depan, sebagai aktivis yang punya andil dalam menumbangkan rezim Soeharto. Keduanya sudah berteman akrab pada saat itu.
Jadi, jelaslah pada awalnya Fadli dan Fahri berada satu barisan dengan tokoh-tokoh partai koalisi pemerintah saat ini, sama-sama memperjuangkan reformasi.Â
Bahwa kemudian keduanya jadi kritis kepada sesama reformis, ya sebetulnya bukan hal yang aneh. Toh kisah yang serupa juga banyak ditemukan pada aktivis angkatan 1966 yang menumbangkan Orde Lama yang kemudian sangat kritis pada Soeharto.
Itulah bedanya Soeharto dan Jokowi. Jangan harap Soeharto memberikan bintang tanda jasa jasa pada pengkritiknya. Ali Sadikin, AH Nasution, AM Fatwa, HR Darsono, dan tokoh lain yang menandatangani "Petisi 50" yang menggugat Soeharto, betul-betul dikucilkan.
Tapi Jokowi bukan pemimpin yang anti kritik. Justru menjadikan kritik sebagai vitamin yang menyemangatinya dalam bekerja. Jadi, pemberian bintang tanda jasa dari Presiden kepada Fadli dan Fahri, tidak perlu ditanggapi dengan kekecewaan oleh sebagian masyarakat.Â
Semoga keutuhan bangsa akan semakin membaik dengan tidak membabi buta dalam mendukung seorang pemimpin dan tidak lagi ada yang menganggap lawan politik sebagai musuh. Fadli dan Fahri pun sebaiknya tetap bersikap kritis meskipun sudah mendapat bintang tanda jasa, asal berupa kritik yang membangun.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H