Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pengalaman Ikut Tes Swab, Tahan Sebentar Rasa Sakitnya

11 Agustus 2020   07:00 Diperbarui: 12 Agustus 2020   20:26 5444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: petugas puskesmas melakukan tes usap (swab test). (Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

"Bagi mereka yang mau tes swab ada baiknya latihan beberapa kali bagaimana caranya membuka mulut dan menjulurkan lidah sambil beteriak."

Sungguh, awalnya saya merasa lingkungan perkantoran relatif aman, dalam arti mampu mencegah masuknya virus corona kepada mereka yang berkantor di sana. Betapa tidak, bukankah sebelum masuk gedung kantor, semua pengunjung diperiksa suhu tubuhnya. Lagipula semua orang wajib memakai masker.

Kemudian aturan menjaga jarak antar manusia, terutama saat berada dalam lift, juga diterapkan dengan baik. Selain itu, ada banyak tempat untuk mencuci tangan, baik dengan menuangkan hand sanitizer, maupun dengan sabun di bawah siraman air yang mengalir.

Maka meskipun tetap ada kekhawatiran bila saya lagi bekerja di kantor di sebuah gedung berlantai 36 di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, namun tidak sebesar kekhawatiran saya bila berbelanja di supermarket atau di pasar tradisional.

Namun sejak sekitar sebulan yang lalu, ketika satgas Covid-19 mengumumkan bahwa area perkantoran menjadi kluster penularan baru, saya mulai tersentak. Tapi saya tetap masuk kantor selama dua hari kerja setiap minggu.

Awalnya anak saya yang baru beberapa bulan bekerja di sebuah perusahaan sekuritas di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, yang menceritakan bahwa ia baru ikut tes swab. Itu gara-gara seorang rekan kerjanya terpapar virus corona, lalu semua karyawan di sana harus dites. Saya cukup deg-degan menunggu hasil tes anak saya yang baru diketahui sehari setelah dites. Alhamdulillah hasilnya negatif. 

Nah, pada Senin (10/8/2020) lalu, giliran saya yang wajib ikut tes swab di kantor. Sebetulnya, dari berita yang saya dengar, di gedung tempat saya bekerja sudah beberapa orang yang terkena virus, tapi penghuni lantai yang berbeda dengan saya. 

Baru pada Sabtu (8/8/2020), ada seorang karyawan yang satu lantai dengan saya (lantai 31) diberitakan juga terkena virus. Inilah yang membuat saya dan teman-teman di lantai yang sama, harus dites.

Sebelum ikut tes, saya tanya anak saya, bagaimana pengalamannya ketika dites. Kata anak saya lumayan sakit ketika alat untuk mengambil cairan masuk ke dalam rongga mulut bagian dalam dan juga masuk lobang hidung mengarah ke atas. Tapi itu hanya selama sekitar dua menit saja. Setelah itu, rasa sakit pun hilang.

Dok pribadi
Dok pribadi
Saya juga berselancar di dunia maya mencari referensi tentang teknis pelaksanaan tes swab. Ternyata kurang lebih sama saja dengan keterangan anak saya. 

Sampel yang diambil pakai alat berbentuk cotton bud dengan tangkai panjang itu, disebutkan memang mendatangkan rasa tidak nyaman bagi pasien. Tapi pasien harus bersikap kooperatif sampai proses pengambilan sampel selesai, agar hasilnya akurat.

Adapun hasil tes swab adalah positif atau negatif. Positif menandakan adanya infeksi virus corona, sedangkan negatif berarti tidak ada infeksi. Namun tes swab tidak cukup satu kali saja, sebaiknya diulang sesuai anjuran dari dokter atau tenaga medis.

Oke, dari referensi tersebut, tak ada lagi keraguan bagi saya, sebaiknya saya memang ikut tes. Ini penting bagi saya sendiri dan juga keluarga saya. Mumpung biayanya menjadi tanggungan kantor, peluang ini harus saya manfaatkan. Jika menjadi tanggungan pribadi, tarifnya lumayan mahal, bisa di atas Rp 1 juta.

Sesuai jadwal yang telah diatur oleh staf yang ditugaskan untuk mengkoordinir tes swab, saya mendapat giliran kelompok pertama yang berjumlah 10 orang. 

Jadwal pengambilan sampelnya adalah dari pukul 10.30 hingga 10.45. Artinya selama 15 menit untuk 10 orang, jelas setiap orangnya hanya kebagian sekitar 1 hingga 1,5 menit. 

Takut mengalami kemacetan, saya datang lebih awal. Jam 10 saya sudah berada di ruang tunggu lantai 32, tempat pengambilan sampel. Petugas dari rumah sakit yang digunakan perusahaan tempat saya bekerja, malah belum datang. Baru jam 10.35, petugasnya yang berjumlah 3 orang terlihat datang membawa beberapa box peralatan.

Ternyata ada dua petugas pengambil sampel, sehingga dua orang bisa diperiksa secara paralel. Seorang petugas lagi tampaknya petugas administrasi yang sibuk mencatat atau meneliti foto kopi KTP karyawan yang akan diambil sampelnya. KTP itu wajib diserahkan saat melapor di ruang tunggu.

Semua petugas terlihat memakai alat pelindung diri (APD) secara lengkap. Bahkan sarung tangannya saja 2 lapis. Lapisan luar akan dibuang setelah selesai mengambil sampel satu orang, untuk diganti lagi dengan sarung tangan baru. Demikian juga alat seperti cotton bud-nya, hanya berlaku untuk satu orang saja.

Akhirnya tibalah giliran saya dipanggil. Sambil duduk di kursi empuk, saya diminta membuka mulut lebar-lebar, kemudian menjulurkan lidah sambil berteriak "aaaaaah". 

Agak sulit bagi saya melakukannya, karena saat berteriak, lidah saya masuk lagi. Begitu alat pengambil sampel masuk dalam ke tenggorokan saya, lumayan sakit dan menimbulkan efek mual. Kata petugasnya, itu hal yang normal dan akan hilang sendiri.

Bagi mereka yang mau tes swab ada baiknya latihan beberapa kali bagaimana caranya membuka mulut dan menjulurkan lidah sambil beteriak. Sedangkan waktu pengambilan sampel melalui hidung, tak perlu pakai latihan, karena cukup dilakukan sambil mendongak.

Namun bukan berarti mengambil sampel di hidung lebih gampang ketimbang lewat mulut. Begitu alat mirip cotton bud itu masuk salah satu lubang hidung (boleh di kiri atau kanan, sesuka si petugas saja), karena diarahkan ke bagian paling atas, rasanya sakit juga. 

Hidung saya sendiri secara refleks menolak saat alatnya sudah demikian jauh masuk lubang kanan hidung. Akhirnya terpaksa diulang lagi, dan si petugas meminta saya agar rileks saja, jangan melawan "serangan" alat yang masuk itu. Soalnya, jika dilawan, lobang hidung otomatis menyempit. 

Akhirnya saya berhasil tidak melawan, tapi saking tidak nyamannya, entah kenapa, ternyata berdampak pada keluarnya air mata. Padahal bukan karena merasa sedih sebab tidak boleh melawan, dan saya sendiri sudah mencoba serileks mungkin.

Demikianlah pengalaman 2 menit yang lumayan menegangkan bagi saya, tapi setelah itu rasanya lega. Orang lain saya lihat ada yang sangat gampang saat pengambilan sampel, mungkin sudah latihan dulu. Tapi ada beberapa yang lebih parah, maksudnya membutuhkan waktu yang lebih lama, dibandingkan yang saya alami.

Sekarang saya tinggal menunggu hasilnya saja yang dijanjikan keluar besoknya. Tentu saja saya berharap dan berdoa agar hasilnya negatif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun