Ada kontradiksi berkaitan dengan respon masyarakat atas dibukanya kembali sejumlah objek wisata di tanah air. Di satu pihak, sebagian masyarakat mulai antusias berkunjung dengan mengabaikan protokol kesehatan. Sebagian lagi, melihat banyak yang abai itu tadi, masih ngeri untuk berkunjung.
Apalagi sekarang ini, mereka yang berkunjung ke tempat wisata dan mengabaikan protokol kesehatan itu, dengan bangganya memajang berbagai foto mereka di media sosial. Membanggakan bagi mereka, tapi mengerikan bagi yang menomorsatukan keselamatan dan kesehatan.
Jika anda termasuk yang masih ngeri, itu pertanda baik, artinya anda adalah orang yang sangat peduli dengan kesehatan. Biar saja kalau anda diledek oleh teman lain sebagai orang yang pengecut. Tidak masalah, toh nanti kalau anda sakit, si teman juga bakal cuek-cuek saja, atau sekadar mengucapkan doa basi-basi agar anda lekas sembuh.
Masalahnya, jika terlalu banyak yang ngeri, bisa-bisa tidak kondusif untuk menggulirkan roda perekonomian, baik pada skala lokal, maupun nasional. Latar belakang dibukanya kembali sejumlah destinasi wisata, tujuan utamanya adalah agar perekonomian kembali tumbuh.
Lihatlah betapa terpuruknya mereka yang terlibat dalam usaha rumah makan, restoran, transportasi, hotel, penjual oleh-oleh, pemandu wisata, dan sebagainya. Jangan mengira bahwa berwisata itu sekadar jalan-jalan ke tempat yang punya pemandangan indah seperti ke pantai atau ke daerah pegunungan.
Dalam arti luas, wisata menyentuh banyak sekali aktivitas. Makanya ada yang disebut dengan wisata belanja, wisata religi, wisata sejarah, wisata pendidikan, wisata lingkungan, wisata budaya, dan sebagainya. Belum lagi yang disebut dengan MICE (meeting, incentive, convention, dan exhibition).
Jadi, bagi daerah tertentu yang hidup matinya dari pariwisata seperti Bali, kondisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah menjadi momok yang menakutkan. Tak salah kalau Bali sekarang sudah terbuka lagi. Susah dibayangkan apa yang akan terjadi di Bali, bila tetap ditutup selama beberapa bulan lagi.
Hanya saja, berhadapan dengan pengunjung obyek wisata yang bandel dalam arti tidak mematuhi protokol kesehatan, akan menjadi "neraka" bagi pengunjung lain. Inilah yang menyebabkan sebagian orang masih ngeri berwisata.
Tak bisa lain, agar obyek wisata tidak menjadi sumber penularan baru, pengelola atau petugas di lokasi yang ramai dikunjungi wisatawan, harus bekerja ekstra keras. Matanya harus awas melihat pengunjung yang tidak pakai masker, yang tidak menjaga jarak, atau hal-hal lain yang melanggar protokol kesehatan.
Dan semua itu harus dimulai dari petugas yang bekerja di bisnis yang berkaitan dengan pariwisata itu. Umpamanya, petugasnya memakai masker yang ditutupi lagi oleh pelindung wajah, memakai sarung tangan, dan sebagainya.
Bayangkan misalnya saat seorang pelayan restoran menghidangkan sepiring nasi beserta lauknya di meja seorang pemesan, dengan sopan berkata "silakan pak", tapi tanpa memakai masker. Jika pemesannya orang yang waspada, malah langsung hilang selera makannya. Siapa tahu ketika si pelayan ngomong, droplet-nya masuk ke makanan.